Studi-studi tentang kehidupan kerja telah dilakukan oleh banyak ilmuwan, salah satunya yang dilakukan oleh Sigmund Freud pada tahun 1930 menjadi karya yang mengilhami para ilmuwan lain. Pekerjaan dapat menjadi kegiatan yang menyenangkan sekaligus menjadi beban yang menyakitkan bagi manusia. Sekilas nampaknya pernyataan ini bertolak belakang, namun Freud memberikan penjelasan yang sangat logis. Untuk menyelesaikan sebuah pekerjaan dibutuhkan kreativitas dan usaha, inilah sisi beban yang menyakitkan. Namun demikian, ketika pekerjaan itu menghasilkan sebuah karya dan pencapaian maka inilah sebuah kesenangan atau kebahagiaan. Banyak manusia tidak memberikan nilai atas kegiatan bekerja sebagai jalan menuju kebahagiaan. Manusia seringkali mengasosiasikan kesenangan dengan instinct materialistik seperti misalnya dorongan seksual dan agresivitas (pleasure principle). Freud meyakini bahwa sebagai manusia yang dewasa perlu memahami bahwa diri mereka memiliki tanggung jawab terhadap masyarakat, dan kenyataannya apabila pleasure principle menjadi dominan dalam masyarakat maka hal ini merusak tatanan sosial masyarakat. Masyarakat membutuhkan kontribusi karya dari hidup manusia (reality principle), oleh karena itu manusia dewasa harus mampu menyangkal pleasure principle dan menerima reality principle. Manusia harus mampu mengubah libido seksualnya (pleasure principle) menjadi “libido” untuk menghasilkan karya bagi masyarakat, melalui pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya di organisasi sehingga manusia dapat menikmati pekerjaan tersebut, yang disebut Freud sebagai capacity to work (Diamond, 1996).
Para ilmuwan meneliti bahwa capacity to work adalah kapasitas yang dimiliki seseorang untuk bekerja dan merupakan salah satu dimensi dari work performance, dengan kata lain bahwa melalui capacity to work maka pengikut dapat menyelesaikan pekerjaannya sesuai dengan yang diharapkan. Capacity to work meliputi ability, age, health, knowledge, skilss, intelligence, level of education, endurance, stamina, energy level, motor skills (Blumberg & Pringle, 1982). Selain itu, studi yang dilakukan oleh Australian Social Security Act (1991) memberikan pemahaman bahwa dalam bekerja juga diperlukan capability to work yaitu gabungan dari capacity dan ability yang menunjukkan tingkat kemampuan seseorang dalam menyelesaikan pekerjaannya sehingga seseorang mampu bekerja secara kontinu bahkan ketika harus bekerja mandiri sekalipun (Gillespie, 2011).
Setiap pekerjaan di organisasi tentu memiliki work process sebagai panduan pelaksanaan pekerjaan yang perlu dipahami sehingga seseorang dapat menyelesaikan dengan baik. Pertama adalah kompleksitas pekerjaan, dimana setiap pekerja harus didorong untuk memiliki skill yang dibutuhkan oleh pekerjaan tersebut (job technical requirements). Kedua adalah konteks sosial pekerjaan, yaitu bagaimana seseorang harus bekerjasama dan berinteraksi sosial didalam kelompok kerja. Ketiga adalah otonomi pekerja, apakah seseorang diberikan kewenangan untuk menyelesaikan secara mandiri atau dalam kelompok. Dari hasil penelitian nampak bahwa organisasi yang memiliki interactive (participative) work memiliki peluang lebih besar untuk membuat pengikut atau pekerja bertumbuh baik secara kognitif, afektif, dan perilaku (Crouter, 1984).
Pada work process yang berorientasi terhadap pola interactive work biasanya akan menekankan pada pengembangan pribadi pengikut, promosi hubungan kerja, penyediaan kesempatan atau peluang pekerjaan yang mendorong pengikut untuk lebih mahir akan membuat kehidupan bekerja menjadi lebih berkualitas (quality of work life) sehingga akan tercipta lingkungan kerja yang kondusif bagi para pengikut (Elizur & Shye, 1990; Liou, Sylvia, & Brunk, 1990). Lingkungan kerja menjadi hal yang penting dan perlu diperhatikan oleh organisasi (organizational environment) karena akan menentukan tindakan organisasi untuk melangkah. Tidak cukup melihat lingkungan kerja dalam organisasi dari dari satu perspektif, karena akan membatasi pandangan ke depan. Secara umum, lingkungan kerja organisasi dapat dipahami sebagai lingkungan kerja yang harmonis (harmonius environment) dimana ritme organisasi lebih stabil dan lingkungan kerja yang menantang (challenging environment) dimana organisasi dan orang-orang didalamnya dituntut untuk selalu adaptif terhadap perubahan (Frishammar, 2014).
Tuntutan inilah yang kemudian mendorong pengikut (creative self efficacy) untuk melahirkan ide baru (innovative work behavior) melalui proses inovasi dalam lingkungan kerja (innovation environment) yang tentu berdampak pada hasil kerja dan pencapaian pengikut (Dziallas, 2018; Newman, Tse, Schwarz, & Nielsen, 2018). Pembentukan lingkungan kerja pada sebuah organisasi salah satunya sangat dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan, misalnya kepemimpinan transformasional (Cheung & Wong, 2011; Nielsen & Daniels, 2012; Sandvik Alexander, 2018). Kemudian lingkungan kerja tersebut akan membentuk interaksi antara pemimpin dan pengikut, termasuk menentukan tingkat kreativitas kinerja seorang pengikut yang bisa jadi didahului dengan terbentuknya psychological empowerment.
Melalui konsep-konsep yang telah dipaparkan tersebut maka dapat disintesakan sebuah konsep baru yaitu Pro-growth Working Environment yang memiliki makna lingkungan kerja yang mendorong pertumbuhan pribadi yang ditandai oleh interaksi yang memberdayakan, semangat untuk maju, dengan tanggung jawab yang menantang.
Penulis: Prof. Dr. Anis Eliyana, S.E., M.Si.
Artikel selengkapnya dapat diunduh pada: http://www.sysrevpharm.org//index.php?mno=11596
Roy Setiawan, Anis Eliyana, Tatik Suryani (2020) Measuring Pro-Growth Working Environment: An Exploratory Factor Analysis. Systematic Reviews in Pharmacy, 11 (12), 1261-1264. doi:10.31838/srp.2020.12.185