Bila di bulan Oktober ada banyak momentum berkenaan dengan semangat kebangsaan, antara lain, tanggal 1 yang dikenal sebagai hari kesaktian Pancasila, tanggal 5 yang merupakan peringatan hari lahir Tentara Nasional Indonesia, dan tanggal 28 Oktober yang dikenang sebagai hari sumpah pemuda, bulan November lekat dengan momentum kepahlawanan. Sebab, pada bulan ini di tanggal 10, diperingati sebagai Hari Pahlawan. Yang sekaligus, sebagai hari ulang tahun kampus Airlangga.
Dalam sambutannya pada upacara peringatan Hari Pahlawan di halaman Gedung Rektorat 10 November 2020 lalu, Rektor UNAIR Prof. Moh. Nasih menggarisbawahi pentingnya menjaga semangat kepahlawanan dan kebangsaan. Dengan spirit tersebut, anak bangsa akan menjadi mandiri, kreatif, inovatif, berinisitaif, dan bermental juara. Poin-poin tadi merupakan kunci kesuksesan dan jalan untuk menjadi sosok yang bermanfaat bagi sekitar.
Salah satu upaya untuk menjaga spirit kepahlawanan adalah mengenang perjuangan para pendiri bangsa. Membangkitkan kenangan itu, yang bertujuan demi mengambil pelajaran, bisa dilakukan dengan menapak tilas kisah-kisah mereka yang inspiratif. Terdapat banyak pahlawan nasional yang selalu menjadi ikon spirit kebangsaan Indonesia. Khususnya, di Jawa Timur. Selain KH Hasyim Asyari, tercatat kalau Sang Proklamator Soekarno memiliki ikatan yang kuat dengan provinsi ini. Lelaki yang popular dengan sebutan Bung Karno ini pernah tinggal di beberapa kota di Jawa Timur. Misalnya, di Surabaya, Tulungagung, dan Mojokerto.
Yang menarik, sebelum beranjak sekolah di Hogere Burger School Surabaya, di masa usia emas, lelaki bernama kecil Koesno ini mengenyam pendidikan setara sekolah dasar di Tweede Inlandsche School (saat ini SDN Purwotengah Kota Mojokerto), dan melanjutkan belajar di Europesche Legore School (SMPN 2 Kota Mojokerto).
Bisa jadi, sejarah soal Bung Karno di Kota Mojokerto tidak setenar kisahnya saat beranjak besar di Surabaya, kuliah di Bandung, diasingkan di Ende, atau dimakamkan di Blitar. Meski demikian, banyak sejumlah literatur memasitikan, Si Bung Besar berada di Kota Mojokerto dalam periode yang relative lama, delapan tahun, sekitar 1908 sampai 1916 (Tamar Djaya, Soekarno-Hatta Persamaan dan Perbedaannya, 1983).
Bung Karno menyerap memori-memori penting di usia belia, sekitar tujuh sampai lima belas tahun, saat berada di Kota Mojokerto. Dengan kata lain, lingkungan dan sekolahnya di Kota Mojokerto punya peran penting dalam pertumbuhan Bung Karno. Yang kelak turut mengantarkannya menjadi intelektual berpengaruh level nasional, bahkan internasional.
Sebagai makhluk sosial, apa yang dipikirkan, dikatakan, dan dilakukan individu, pasti dipengaruhi oleh kondisi di sekitarnya. Lingkungan beserta sistem sosial punya peran penting membentuk pribadi seseorang (Emile Durkheim, What Is A Social Fact? The Rules Of Sociological Method, 1982). Segala yang disaksikan, dirasakan, dan bersentuhan langsung dengan indera seseorang, akan menjadi referensi utama bagi diri orang tersebut dalam berperilaku (Kenrick, dkk, Social Psychology, 2015). Beranjak dari perspektif tersebut, sudah pasti bahwa pemikiran-pemikiran revolusioner Bung Karno tidak bisa dipisahkan dengan setiap momentum pengalamannya tatkala menghirup udara, meminum air, melangkah di bumi Mojokerto.
Pendirian Bung Karno soal urgensi gotong royong dalam bernegara di Indonesia (A. Dewantara, Alangkah Hebatnya Negara Gotong Royong, 2017), politik kebangsaan, keislaman, maupun keberagaman di nusantara, pasti berhubungan dengan semua pengalaman hidupnya, (A. Sanusi, Pemikiran Transformatif Soekarno Dalam Politik Islam, 2018), termasuk saat berada di Kota Mojokerto. Beberapa literatur mencatat, di masa kecil, Bung Karno kerap secara khusus berteman dengan orang-orang Belanda. Rupanya ini hanya modus agar dia memiliki lawan bicara penutur asli buat praktek belajar bahasa Belanda. Bung Karno semasa bocah juga gemar bermain panjat pohon dengan kawan-kawannya. Saat itu dia selalu ingin berada di posisi tertinggi sebagai simbol semangatnya untuk melepaskan bangsa ini dari penjajahan.
Tentu ada beragam cerita lain yang menarik bila disimak dan dikaji. Kisah-kisah itu perlu digaungkan dengan kemasan yang apik. Tujuannya, memercikkan semangat kebangsaan dan patriotisme bagi masyarakat luas. Apa yang dilakukan Wali Kota Mojokerto Ika Puspitasari yang pada 2019 silam, meresmikan dua sekolah Bung Karno di Kota Mojokerto sebagai cagar budaya patut diapresiasi. Wali Kota Ika juga gencar mensosialisasikan dua bangunan bersejarah itu, agar kemudian bisa menjadi objek wisata historis.
Wali Kota Mojokerto Ika Puspitasari juga melaksanakan sejumlah kegiatan seremonial di dua sekolah itu. Sebagai contoh, peringatan hari lahir Pancasila pada 1 Juni 2020 di SDN Purwotengah Kota Mojokerto dan peringatan proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 2020 di SMPN 2 Kota Mojokerto. Peringatan hari lahir Jawa Timur pada 12 Oktober 2020 juga digelar di SMPN 2 Kota Mojokerto.
Saat ini cagar budaya tersebut sedang diupayakan agak menjadi kawasan objek wisata sejarah yang representatif. Di masa kini, era gelombang globalisasi yang diperkuat kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, bangsa Indonesia membutuhkan sebanyak-banyaknya pelecut semangat nasionalisme. Gerakan-gerakan transnasional, baik yang ideologis maupun hedonis, selalu mengancam eksistensi kearifan lokal bangsa Indonesia.
Kawasan maupun bangunan cagar budaya, termasuk sekolah Bung Karno, yang dikemas dengan elok sebagai objek wisata historis, bisa menjadi salah satu pilar penjaga jati diri bangsa. Yang perlu dicatat, pengembangannya mesti melibatkan pihak-pihak yang paham dengan perkembangan modernitas zaman. Jangan sampai, karena merupakan wisata sejarah, mereka yang tertarik melancong ternyata dari kaum yang relatif senior. Sentuhan kebaruan merupakan keniscayaan, meski keotentikan kenangan tetap tak bisa diganggu gugat. Menariknya, pengembangan objek wisata cagar budaya juga bisa memicu peningkatan taraf ekonomi warga setempat (Pitana & Gayatri, Sosiologi Pariwisata, 2005).
Penulis: Rio F. Rachman, Mahasiswa Doktoral FISIP UNAIR