The Bugis of South Sulawesi, Indonesia are modern heirs to an ancient maritime tradition that for millennia supported the spread of the Austronesian-sepaking peoples throughout virtually all of island Southeast Asia, Oceania, and even as far as Madagascar (Ammarell, 1999:3).
Kutipan di atas adalah bagian yang menceritakan aktivitas pelayaran dan perdagangan orang-orang Bugis yang ditulis oleh Gene Ammarell. Lebih jauh, Ammarell mengatakan bahwa orang Bugis masih bergantung pada pengangkutan dan perdagangan antarpulau untuk penghidupan dan identitas mereka. Pengembangan sistem navigasi asli tanpa menggunakan alat modern sangat penting bagi keberhasilan mereka, yang memungkinkannya bepergian dan berdagang serta membuka pemukiman di seluruh wilayah. Migrasi orang-orang Bugis ke berbagai wilayah Nusantara, bahkan melampaui teritori Indonesia, telah berlangsung sangat lama. Sebagai salah satu etnis yang memiliki tradisi dan keyakinan yang sangat kuat, orang-orang Bugis tetap mampu menjaga tradisi mereka.
Artikel ini didasarkan atas penelitian yang dilaksanakan di beberapa kampung Bugis di Bali Selatan, khsusunya di Pulau Serangan, Suwung, Tuban-Denpasar, dan Loloan. Sebagai kawasan yang mayoritas penduduknya beragama Hindu, Bali menjadi wilayah kajian yang menarik mengingat orang-orang Bugis beragama Islam. Penelitian ini menggunakan berbagai macam data, seperti cerita rakyat dan babad, sumber-sumber arkeologis, data kolonial, dan yang tidak kalah pentingnya adalah serangkaian wawancara yang dilakukan terhadap beberapa narasumber yang mengetahui perjalanan sejarah diaspora orang-orang Bugis di Pulau Bali.
Hasil penelitian ini menunjukkan beberapa poin penting. Pertama, dengan mengacu pada sumber lokal, sumber arkeologis, dan sumber kolonial, kehadiran orang-orang Bugis di Bali diperkirakan telah ada sejak pertengahan abad XVII. Selain itu, sumber-sumber Belanda maupun tulisan-tulisan ilmuan Barat, telah menyiratkan awal kedatangan orang-orang Bugis di Bali. Pada saat awal kehadirannya, wilayah yang dituju oleh para migran Bugis ini adalah kawasan tempat dia dapat menjalankan profesinya sebagai nelayan dan pedagang. Oleh karena itu, mereka dapat dijumpai antara lain di sekitar pelabuhan tua Buleleng, Pulau Serangan, Tuban-Denpasar, Kepaon, Tanjung Benoa, dan Kampung Loloan.
Kedua, dari penelusuran terhadap berbagai sumber, dapat disimpulkan bahwa motif ekonomi, yakni pelayaran dan perdagangan menjadi alasan penting orang-orang Bugis melakukan migrasi. Aktivitas pelayaran ini semakin meningkat ketika Makassar dikuasai oleh VOC, khususnya setelah ditandatanganinya Perjanjian Bongaya (Cappaya Bongaya). Mereka memiliki pangkalan laut di luar Sulawesi Selatan, yakni di Flores, Sumbawa, Lombok, dan Bali di wilayah Nusa Tenggara; Gresik di Jawa Timur; Bonerate di Laut Flores; Kaili di barat laut Sulawesi; Kutai, Pasir, Pegatan, Pulo Laut, dan Pontianak masing-masing di bagian timur, tenggara, dan barat Kalimantan; Jakarta, Riau, dan Tanah Melayu. Periode sesudah jatuhnya Makassar bertepatan dengan perpecahan Gelgel dan bangkitnya kerajaan-kerajaan baru di Bali.
Ketiga, sebagai salah satu etnis yang memiliki tradisi dan keyakinan yang sangat kuat, orang-orang Bugis tetap mampu menjaga tradisi mereka. Salah satu identitas tersebut adalah agama Islam. Oleh karena itu, ketika kehidupannya di Bali sudah mulai stabil, mulailah mengusahakan berdirinya masjid sebagai tempat beribadah. Kehadiran beberapa mesjid di Bali menarik karena tidak terlepas dari dukungan pihak kerajaan. Masjid di Pulau Serangan misalnya dibangun atas bantuan Raja Pemecutan. Selain identitas yang berkaitan dengan Islam yang masih terus dijaga dan dipertahankan, tata cara pernikahan dengan adat Bugis juga masih terus dipelihara. Demikian pula dengan bahasa Bugis sebagai bahasa pengantar dalam aktivitas sehari-hari mereka masih tetap digunakan. Hanya saja, kecenderungan penggunaan bahasa Bugis ini hanya bisa bertahan pada generasi kelima atau keenam.
Keempat, salah satu sarana yang digunakan dalam proses adaptasi orang-orang Bugis di Bali adalah penggunaan Bahasa Bali. Seluruh narasumber yang kami temui dapat berbahasa Bali dengan sangat fasih. Selain itu, saling hormat-menghormati terhadap kepercayaan dan hal-hal yang berkaitan dengannya juga merupakan hal penting yang dilakukan untuk menjaga hubungan baik antara orang-orang Bugis dan Bali. Penghormatan terhadap kepercayaan ini tidak lagi berada pada tataran toleransi tetapi sudah pada tataran apresiasi. Hal ini terbukti dengan sikap saling membantu antara dua komunitas ini pada saat berlangsungnya hari raya keagamaan mereka. Pada saat Hari Raya Nyepi misalnya, selain tidak keluar rumah dan mematikan lampu, beberapa pria Bugis ikut berpartisipasi menjadi pecalang. Sebaliknya, pada malam takbiran, warga Bali mengikuti tradisi takbir keliling desa. Demikian pula, pada hari raya Galungan dikenal tradisi ngejod, yakni pemberian makanan atau buah-buahan kepada tetangganya yang beretnis Bugis.
Penulis: Dr. Sarkawi B. Husain, M.Hum.
Informasi detail tentang riset ini dapat dilihat dalam tulisan kami di: https://produccioncientificaluz.org/index.php/utopia/article/view/33541
Sarkawi B. Husain, J.A. Khusyairi, Samidi (2020). ‘Sailing to the Island of the Gods,: Bugis Migration in Bali Island. Utopia y Praxis Latinoamericana; Ano 25, no. Extra 6, 2020, pp. 333-342; DOI: http://doi.org/10.5281/zenodo.3987634