UNAIR NEWS – Rancangan Peraturan Presiden tentang Tugas Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam mengatasi aksi Terorisme (Raperpres Tentara) telah diserahkan Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mendapatkan pertimbangan.
Raperpres Tentara itu merupakan turunan dari UU Pemberantasan Terorisme yang di dalamnya memuat tentang bentuk-bentuk pelibatan TNI dalam penanggulangan Terorisme.
Terkait hal tersebut, Human Right Law Studies (HRLS) Fakultas Hukum Universitas Airlangga (FH UNAIR) adakan diskusi publik pada Rabu (4/11/20). Diskusi dengan tajuk ‘Menimbang Rancangan Perpres Pelibatan TNI dalam Pemberantasan Terorisme dalam Perspektif Hukum dan HAM’ tersebut membahas keterlibatan TNI dalam Perpres patut disikapi dengan penuh kecermatan.
Dalam kesemptan tersebut, HRLS turut mengundang beberapa pembicara, yakni Willy Aditya dari Komisi I DPR RI, Gufron Mabruri dari LSM IMPARSIAL, M. Najib Azca, Ph.D, dosen sekaligus sosiolog dari FISIPOL UGM (Universitas Gadjah Mada) dan Erwin Natosmal Oemar pengajar di Jimly Law School.
Direktur Pusat Studi HRLS, Amira Paripurna, S.H., LL.M., Ph.D, menuturkan bahwa hal tersebut karena nomenklatur Perpres memberikan porsi sepenuhnya pada eksekutif, dalam hal ini Presiden untuk mengatur lebih lanjut ketentuan yang ada dalam Undang-Undang. Selain itu, karena Perpres ini merupakan domain sepenuhnya dari Presiden, maka dalam prosesnya, partisipasi publik menjadi minimal.
“Padahal, hal ini merupakan isu yang sangat penting karena berpotensi bersinggungan dengan nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia,” tutur dosen hukum pidana, krimonologi, dan viktomologi tersebut.
Dalam diskusi tersebut HRLS memberi catatan kritis terhadap Raperpres Tentara. Di antaranya Pelibatan TNI atas dasar perintah Presiden sebagaimana diatur dalam Perpres berpotensi bertentangan dengan Pasal 7 ayat (2) dan (3) UU No.34 Tahun 2004 yang menghendaki pelibatan TNI haruslah melalui keputusan politik negara. Artinya, tidak hanya Presiden saja melainkan melibatkan pula DPR sebagai representasi dari rakyat.
“Beberapa ketentuan dalam Rancangan Perpres ini membuka ruang interpretasi yang sangat luas misalnya dalam hal fungsi kegiatan dan/atau operasi intelijen, kegiatan dan/atau operasi territorial, kegiatan dan/atau operasi informasi, kegiatan dan/atau operasi lainnya. Jika tidak ada pengaturan yang rinci dan jelas hal ini dapat berpotensi disalahtafsirkan oleh pemegang kewenangan,” imbuhnya.
Menurut Amira, masih banyak rumusan yang masih normatif dan tidak operasional dan mengulang apa yang sudah ada di UU TNI, misalnya dalam Pasal 9 Perpres. Dan Fungsi Penindakan akan merusak mekanisme criminal justice system (penegakan hokum, Red) dan berpotensi menimbulkan terjadinya pelanggaran HAM yang tinggi.
“Hal yang menjadi problematika misalnya pada saat TNI diberi kewenangan untuk penyelidikan. Dimana hal ini tidak dijelaskan batasan sehingga akan berpotensi overlap dengan fungsi-fungsi penegakan hukum,” terangnya.
Adapula Pasal 14 terkait dengan membuka ruang untuk alokasi anggaran yang bersumber di luar APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), seperti APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) dan anggaran lain. Hal tersebut bertentangan dengan UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan UU No.34 Tahun 2004.
Tidak ada mekanisme akuntabilitas yang jelas dalam operasi militer yang dilakukan jika dalam pelaksanaan operasi militer anggota militer melakukan pelanggaran hukum. Dengan begitu, Tim HRLS merekomendasikan agar Pembahasan Perpres ini dihentikan atau setidak-tidaknya ditunda. (*)
Penulis : Asthesia Dhea Cantika Editor : Binti Q. Masruroh