Glaukoma adalah penyebab kebutaan permanen utama di dunia yang prevalensinya diperkirakan mencapai 79.6 juta populasi pada tahun 2020. Sebanyak 60% populasi di dunia terdapat di Asia, sehingga studi epidemiologi yang mewakili populasi Asia sangat diperlukan untuk memperkirakan prevalensi glaukoma secara global. Namun, hingga saat ini belum terdapat studi epidemiologi yang lengkap mengenai berbagai tipe glaukoma di Indonesia (Yamanaka et al., 2015, Masompour et al., 2016; Rifqah et al., 2017).
Jawa Timur merupakan salah satu propinsi dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis profil glaukoma sekunder pada rumah sakit rujukan tertinggi di Jawa Timur. Studi restrospektif ini dilakukan di klinik rawat kalan dari Januari 2014 hingga April 2016. Data diperoleh dari rekam medis pasien yang berobat di klinik glaukoma. Data yang dianalisis meliputi tekanan intraokuli, tajam penglihatan, riwayat kelainan sistemik dan ocular.
Penelitian ini menunjukkan terdapat 363 pasien baru di klinik glaukoma selama periode januari 2014 hingga April 2016 dengan 66 diantaranya merupakan kasus glaukoma sekunder. Rasio laki-laki:perempuan didapatkan 1.3:1 dengan rentang usia 21-60 tahun. Rerata tekanan intraokuli pada pasien glaukoma sekunder tersebut didapatkan 28.48 ± 11.02 mmHg dan rerata tajam penglihatan 0.10 ± 0.19. Penyebab yang mendasari glaukoma sekunder didapatkan 30.8% merupakan factor lensa, 29.5% penggunaan steroid, 20.5% merupakan uveitis, 15.4% merupakan neovaskuler, dan 3.8% merupakan akibat dari komplikasi bedah sebelumnya.
Pemeriksaan gonioskopi menunjukkan sebanyak 46.2% merupakan sudut tertutup dengan 13.4% di antaranya didapatkan sinekia. Dari 30.8% pasien dengan glaukoma sekunder akibat factor lensa, 5% diantaranya disebabkan oleh trauma dan sisanya adalah katarak intumesen yang banyak terjadi pada usia 50-60 tahun. Glaukoma yang disebabkan oleh penggunaan steroid menjadi penyebab kedua terbanyak glaukoma sekunder dengan tajam penglihatan yang buruk karena pengobatan yang terlambat. Pada steroid induced glaucoma ini, 42.6% diantaranya memiliki tekanan intraokuli > 30 mmHg dengan penggunaan obat-obatan antiglaukoma.
Steroid induced glaucoma lebih banyak terjadi pada usia muda (21-30 tahun), hal ini disebabkan karena kemudahan memperoleh obat-obatan tetes mata yang mengandung steroid. Pemantauan secara regular terhadap penggunaan obat tetes mata yang mengandung steroid harus dilakukan oleh dokter mata sebagai upaya untuk evaluasi komplikasi seperti steroid induced glaucoma. Penyebab lain glaukoma sekunder pada studi ini adalah uveitis yang banyak terjadi pada usia muda dengan 7.6% diantaranya memiliki kontrol tekanan intraokuli yang buruk. Glaukoma neovaskuler pada studi ini berkaitan dengan retinopati diabetes tipe proliferative. Pada kasus ini didapatkan kontrol trekanan intraokuli dan tajam penglihatan yang buruk (Marcus et al 2012, Razeghinejad et al 2012, Nanwani et al 2015).
Sebagai kesimpulan, pada studi ini didapatkan bahwa glaukoma sekunder lebih banyak terjadi pada laki-laki daripada perempuan dengan rentang usia 21-60 tahun. Sebagian besar glaukoma sekunder terjadi hanya pada satu mata dengan tekanan intraokuli > 30 mmHg dengan penyebab utamanya adalah factor lensa. Berbeda dengan studi lain, penggunaan steroid adalah penyebab kedua terbanyak glaukoma sekunder pada studi ini. Deteksi dan penanganan dini diperlukan pada glaukoma sekunder untuk mempertahankan fungsi nervus optikus.
Penulis: Evelyn Komaratih, Yuyun Rindiastuti, Yulia Primitasari Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di: https://e-journal.unair.ac.id/FMI/article/view/18452/0 �.}/�+