Tuberkulosis resisten obat (TB RO) adalah penyakit infeksi paru yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang telah resisten terhadap obat TB. TB multidrug-resistant (TB MDR) merupakan TB yang resisten terhadap isoniazid (H) dan rifampisin (R) yang merupakan obat anti-TB lini pertama. Obat anti-TB lini pertama antara lain isoniazid (H), rifampisin (R), pirazinamid (Z), etambutol (E), dan streptomisin (S).
Indonesia berada di ranking 7 dunia untuk jumlah kasus TB RO pada tahun 2017 dengan 23.000 kasus. Kasus TB RO di Indonesia berasal dari 2,4% kasus baru dan 13% kasus pengobatan ulang. Resistensi obat terjadi ketika pasien TB sensitif obat menerima pengobatan yang tidak adekuat atau putus berobat sehingga menyebabkan terjadinya mutasi pada Mycobacterium tuberculosis menjadi resisten terhadap obat anti-TB.
Uji basil tahan asam (BTA) merupakan uji sederhana untuk diagnosis dan monitoring hasil pengobatan pasien TB. Pasien dengan jumlah BTA yang lebih tinggi mengindikasikan jumlah Mycobacterium tuberculosis yang tinggi dan meningkatkan kemungkinan resistensi obat. Suatu dogma menyatakan bahwa tingkat resistensi terhadap H dan R (syarat definisi TB MDR) disebabkan oleh laju mutasi untuk H dan R. Evolusi strain menjadi MDR membutuhkan jumlah populasi minimal 106 basil pada individu yang terinfeksi. Potensi mutasi resistensi obat bervariasi untuk setiap obat, yaitu sekitar 108 basil untuk R, 106 basil untuk H, S, dan E. Klinisi mengasumsikan bahwa jumlah BTA yang lebih tinggi berpotensi menyebabkan resistensi obat.
Penelitian ini bersifat retrospektif yang bertujuan untuk menentukan pola resistensi obat pada pasien TB MDR dengan BTA positif dan mengevaluasi hubungannya dengan jumlah BTA. Data penelitian diambil dari semua pasien TB MDR di RSUD Dr. Soetomo dari Agustus 2009 sampai dengan April 2018. Data penelitian diambil dari data uji BTA di rekam medik pasien. Temuan BTA dikategorikan menjadi BTA 1+ (1-9 BTA per 100 bidang pandang), BTA 2+ (1-9 BTA per 10 bidang pandang), dan BTA 3+ (1-9 BTA per bidang pandang).
Pasien dengan BTA positif selanjutnya diperiksa kepekaan terhadap obat anti-TB menggunakan MGIT 960 BACTEC untuk menentukan kepekaan terhadap R, H, E, dan S. Uji BTA dan kultur kepekaan obat dilakukan di balai besar laboratorium kesehatan (BBLK) Surabaya yang telah tersertifikasi WHO. Data hasil BTA dan kultur kemudian dianalisis menggunakan uji Spearman untuk mengetahui signifikansi jumlah BTA dan pola resistensi. Hasil uji statistik dianggap bermakna apabila nilai signifikansi <0,05.
Terdapat 433 sampel dahak dengan BTA positif dari pasien TB paru MDR. Resistensi terhadap RHES ditemukan pada 22 (14%) BTA 1+, 12 (9%) BTA 2+, dan 13 (9%) BTA 3+. Resistensi terhadap RHE ditemukan pada 39 (25%) BTA 1+, 38 (29%) BTA 2+, dan 35 (24%) BTA 3+. Resistensi terhadap RH ditemukan pada 74 (47%) BTA 1+, 61 (47%) BTA 2+, dan 69 (47%) BTA 3+. Hasil tudi kami menemukan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jumlah BTA dan pola resistensi obat anti-TB lini pertama.
Penulis: Soedarsono Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di https://e-journal.unair.ac.id/IJTID/article/view/14294 eJ