UNAIR NEWS – Era pandemi Covid-19 saat ini mengakibatkan sektor informasi publik menjadi ranah yang rentan terhadap ketidakakuratan informasi. Permasalahan ini diperburuk dengan rendahnya kesadaran budaya literasi di Indonesia. Terlebih juru bicara dari pemerintah dinilai juga mengalami gagap informasi dan semakin menambah kekacauan informasi publik.
Merespon fenomena tersebut, Program Studi dan Himpunan Mahasiswa Magister Ilmu Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga menggelar webinar bertemakan E-Literasi Kesehatan Seputar Covid-19 sebagai upaya menangkal Hoaks pada Minggu (1/11/2020).
Pada kesempatan itu, Dr. Ni Wayan Sartini, M.Hum selaku Ketua Prodi Magister Ilmu Linguistik dalam sambutannya menyayangkan jika masih banyak pihak dengan sengaja menyebarkan hoax. Imbasnya kepanikan menjadi permasalahan social yang membumi di masyarakat, karena kebenaran menjadi terombang-ambing.
“Dalam kondisi ini banyak orang ingin menjadi bagian penting dan up date perihal Covid-19, namun sebagian mereka tidak sadar bahwa informasi yang di konsumsi belum tentu benar,” ujarnya.
Mirisnya, sambung Wayan, banyak masyarakat yang masih gagap teknologi dan ditimpa transformasi dari media tradisional ke digital. Percepatan arus informasi harus melalui tahap verifikasi dalam konsumsinya, agar tidak mengalami misinformasi.
Bagi Wayan, hadirnya ilmu linguistik diharapkannya dapat membantu mengidentifikasi informasi berbasis teks maupun Bahasa. Terlebih akademisi dan kampus sebagai sumber intelektualitas bangsa harus turut serta dalam mencerdaskan umat.
Sementara itu, Dyna Herlina Suwanto, M.Sc., salah seorang pembicara dalam webinar menegaskan bahwa kualitas jurnalistik menentukan daya hidup sebuah bangsa. Baginya, berita palsu dapat tersebar dan subur karena jurnalismenya masih rendah.
Selain itu fenomena krisis social juga menimpa dengan tanpa ampun, hal ini semakin memperburuk keadaan. Dyna menjelaskan bahwa saat ini selain terjadi pandemic juga mengalami Infodemi, yang mana informasi dengan cepat berputar entah akurat maupun tidak.
“Imbasnya pengambilan keputusan seringkali tidak tepat dan labil. Runtutan informasi yang dipaksa hadir dibenak masyarakat membuatnya jenuh dan akhirnya acuh,” tegasnya.
Akibatnya, lanjut Dyna, sebagian masyarakat lebih memilih tidak mau tau dan berakibat pada minimnya validitas informasi yang diterima ke depannya. Terlebih, pihak pemerintah dengan komunikator public yang buruk menjadi pendukung gagalnya penjangkauan audiens dan berimbas pada kekacauan social.
Dyna menyarankan bahwa kegaduhan ini dapat ditekan dengan menerapkan infodemiologi. Yaitu sebagai pendistribusian dan faktor penentu penyebaran arus informasi utama dalam digitalisasi dan kelompok bertujuan untuk menginformasikan terkait kesehatan masyarakat dan kebijakan public.
“Masyarakat harus kritis dan mau memvalidasi setiap informasi yang diterima. Itu dapat dimulai dengan memfilter media yang dikonsumsi dan memastikan kredibilitasnya,” tandasnya.
Pada akhir, Dyna menyarankan agar ke depan pemerintah dan media mau bekerjasama dengan ahli kesehatan (Dokter, Red) dan linguis dalam pembentukan narasi. Hal itu agar meminimalisir terjadinya kesalahpahaman informasi dan menjauhkan hoaks.(*)
Penulis: Muhammad Wildan Suyuti
Editor: Nuri Hermawan