Infeksi daerah operasi (IDO) meningkatkan lama perawatan inap di rumah sakit dan kejadian masuk rumah sakit kembali (readmission). Di negara maju seperti Amerika Serikat, IDO dilaporkan terjadi pada 1,9% dari semua prosedur operasi besar. Infeksi ini menimbulkan biaya berkisar antara USD 480 (sekitar 7 juta Rupiah) hingga USD 22.130 (sekitar 323 juta Rupiah) per pasien dalam sekali rawat inap. Selain itu, Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit di Eropa (European Center for Disease Prevention and Control – ECDC) pada tahun 2011-2012 melaporkan bahwa IDO adalah infeksi yang dapat dicegah namun paling umum terjadi selama perawatan di rumah sakit pasca operasi dengan insiden 156,5 per 100.000 pasien rawat inap. Infeksi daerah operasi yang melibatkan jaringan lunak fasia dan otot menjadi perhatian karena progresivitasnya dapat menyebabkan sepsis yang ditandai dengan penyebaran infeksi bakteri atau mikroorganisme ke seluruh jaringan tubuh. Korelasi IDO dengan komplikasi sepsis ini tidak terbatas pada operasi kotor (dirty surgery), namun juga operasi bersih (clean surgery), bersih-terkontaminasi (clean-contaminated surgery), dan operasi terkontaminasi (contaminated surgery). Infeksi daerah operasi setelah prosedur operasi bersih terkontaminasi dan operasi kotor telah dilaporkan memiliki korelasi beban biaya rawat inap yang tinggi.
Infeksi pasca operasi dianggap sebagai beban ekonomi yang tinggi untuk kasus rawat inap. Berbagai modalitas telah diterapkan, mulai dari penggunaan antibiotik profilaksis sebelum insisi bedah untuk pencegahan hingga penggunaan antibiotik empirik untuk kuratif atau pengobatan.Terapi antibiotik empiris ini ditetapkan berdasarkan pedoman lokal rumah sakit setempat atau pedoman nasional. Dalam implementasi strategi tersebut, pemangku kebijakan klinis penting melakukan evaluasi dampak komplikasi IDO lebih lanjut, seperti penyebab pasien readmission, lamanya rawat inap, munculnya bakteri resisten, dan biaya tambahan akibat resistensi antimikroba. Kami melakukan penelitian dampak IDO terkait frekuensi pasien masuk rumah sakit akibat IDO, biaya rawat inap, dan lama rawat inap dengan desain studi kasus-kontrol. Selain studi evaluasi dampak IDO, kami juga melakukan evaluasi faktor prediktor penyebab IDO. Semua penelitian ini dilakukan di sebuah rumah sakit umum dan pendidikan di Belanda.
Penelitian ini melibatkan 12,285 pasien yang terdaftar menjalani berbagai prosedur bedah antara tahun 2014 dan 2016 di semua departemen bedah. Dari jumlah tersebut, 1,624(13,2%) pasien menderita infeksi (termasuk IDO dan infeksi non-IDO) dan 10,661 pasien (86,8%) tanpa infeksi. Kejadian IDO adalah 393 (3,2%) atau 5,3% dari total prosedur pembedahan. Tidak ada laporan pasien dengan IDO yang melibatkan organ dalam. Kelompok kontrol yang memenuhi kriteria penelitian terdiri dari 2,864 (23%) pasien dengan non-IDO. Ada dua variabel independen yang menjadi faktor IDO yaitu usia ≥65 dan penyakit kanker.
Penelitian ini menunjukkan bahwa biaya, lama rawat inap, dan frekuensi masuk rumah sakit pada kasus IDO lebih tinggi dibanding kasus non-IDO. Hasil ini berlaku pada semua jenis operasi termasuk operasi bersih yang berhubungan dengan kepala dan leher, dada, alat gerak, dan tulang belakang. Hasil penelitian ini juga mendokumentasikan bahwa pasien dengan IDO dan berusia lebih dari 65 tahun memiliki risiko perpanjangan lama rawat inap. Begitu juga, pasien usia lanjut (≥65 tahun) dengan penyakit penyerta jantung dan pembuluh darah serta memiliki riwayat penyakit kanker akan memiliki risiko tinggi terjadinya IDO setelah operasi. Sebaliknya, pasien yang menerima antibiotik profilaksis memiliki risiko IDO yang lebih rendah. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa penggunaan antibiotik profilaksis yang tepat sebelum pembedahan menunjukkan efek pencegahan terhadap kejadian IDO pasca operasi, mengurangi kejadiaan readmission dan mengurangi lama rawat inap.
Rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya merupakan tempat untuk mengembangkan pelayanan terintegrasi dengan pendekatan theragnostic, yang telah dikonseptualisasikan dalam sebuah model AID: penggunaan antimikroba (A) yang tepat, pencegahan infeksi (I), dan pelayanan diagnostik (D). Model AID ini dikembangkan untuk mengendalikan infeksi yang didapat di rumah sakit yang melibatkan staf terlatih dan mencakup berbagai spesialisasi. Selain itu, model AID sebagai media dalam evaluasi dan kontrol penggunaan antibiotik secara rutin untuk mencegah resistensi antimikroba. Insiden IDO di dunia secara global berkisar antara 0% hingga 70%. Multi faktorial yang menyebabkan tinggi rendahnya IDO termasuk jenis dan lokasi operasi serta strategi penggunaan antibitik profilaksis sebelum operasi. Organisasi kesehatan seperti WHO dan ECDC juga merekomendasikan bahwa penggunaan antibiotik profilaksis yang tepat sebelum operasi mencerminkan modalitas untuk menurunkan insiden IDO.
Penelitian ini menunjukkan bahwa momen penting dari fase pra operasi untuk mencegah IDO adalah dengan kepatuhan pada penggunaan antibiotik profilaksis dalam hal pemilihan antibiotik profilaksis, optimalisasi dosis, dan waktu pemberiannya. Pengendalian penggunaan antibiotik profilaksis yang tidak rasional juga dievaluasi terutama pada penggunaan antibiotik profilaksis yang berkepanjangan dan penggunaan antibiotic yang tidak tepat pada saat prosedur lepas drain dari luka operasi.
Penulis: Abdul Khairul Rizki Purba, dr., M.Sc., Sp.FK., PhD
Informasi detail dapat dilihat di: https://doi.org/10.2147/IDR.S264068