Indonesia adalah bangsa yang besar dan cukup disegani di dunia. Bangsa Indonesia dikenal bangsa lain sebagai bangsa yang ramah, memiliki sikap kesalehan sosial atau religiositas yang kuat serta melekat pada kehidupan masyarakat. Indonesia juga dikenal memiliki modal sosial atau social capital yang sangat tinggi. Menurut Yeung (2018) dan Berggren and Bjornskov (2009) modal sosial dan kesalehan sosial merupakan faktor substitusi dan sekaligus menjadi komplemen dalam pelaksanaan pembangunan di negara-negara berkembang yang pada umumnya menghadapi keterbatasan dalam sumber daya modal (capital).
Masyarakat yang memiliki modal sosial yang tinggi cenderung melakukan transaksi ekonomi tanpa harus menggunakan ikatan formal seperti perjanjian, kontrak atau bahkan jaminan dalam ikatan bisnis antar pelaku ekonomi. Pinjam meminjam uang, sewa rumah atau kendaraan dilakukan dengan dasar kepercayaan, dan bagi masing-masing pelaku mempertahankan rasa percaya (trust) dari lawan bisnis bernilai sangat mahal. Sekali rasa percaya lawan bisnis hilang, sangat sulit untuk mendapatkan rasa percaya yang sama kembali seperti semula.
Perkembangan ekonomi dunia yang sangat cepat, dimana globalisasi sudah masuk ke semua aspek kehidupan, termasuk masyarakat Indonesia. Modal sosial dalam bentuk semangat gotong royong, tolong menolong dan guyub secara perlahan namun nyata mulai berkurang dalam aktivitas sehari-hari. Sebelum tahun 1990an, sangat umum terjadi kegiatan gotong-royong dalam membangun rumah, musim menanam, musim panen dan yang lainnya. Penduduk belum terbiasa mengunci pintu rumah atau pintu pagar bila bepergian, ibu-ibu merasa aman menitipkan anak-anak kecil kepada tetangga apabila ada keperluan atau akan bepergian. Hal-hal ini sudah tidak biasa ditemukan jaman sekarang, apalagi di wilayah perkotaan.
Data mikro Indonesia Family Life Survey (IFLS) tahun 2014 mengindikasikan bahwa tidak hanya modal sosial namun kesalehan sosial masyarakat Indonesia sudah mulai luntur oleh perkembangan informasi dan globalisasi. Hanya sekitar 31 persen responden (n=31.463) yang menyatakan berani menitipkan anak pada tetangga bila ada keperluan keluar rumah dan tidak mungkin membawa anak-anak mereka; hanya 28 persen yang masih percaya untuk menitipkan kunci pada tetangga apabila bepergian. Tidak lebih dari 27 persen responden yang berani berjalan sendiri di malam hari di wilayah sekitar tempat tinggal mereka, dan mereka menganggap tidak semua orang di lingkungan mereka bisa dipercaya.
Dari sisi kesalehan sosial, masing-masing tidak lebih dari 25 persen dan 32 persen mengaku hanya mau bergaul dan percaya bertransaksi dengan orang mempunyai latar belakang etnis yang sama, atau menganut ajaran agama yang sama. Kondisi ini mungkin terasa biasa saja di jaman modern seperti sekarang ini. Namun, budaya bangsa yang sudah terkenal ramah tamah, jujur dan toleran yang dulu dipuji sebagai dasar utama dalam melakukan transaksi bisnis perlahan mulai luntur.
Masyarakat Indonesia hendaknya mencoba memahami kondisi ini; bahwa mencari modal dalam bentuk uang sangat mudah di jaman sekarang, namun menjaga modal sosial dan kesalehan sosial masyarakat jauh lebih penting, mengingat hal ini pernah merupakan identitas bangsa dan mempunyai nilai yang tidak ada harganya. Pembangunan akan jauh lebih berhasil apabila kita bangsa Indonesia mampu mempertahankan modal sosial dan kesalehan sosial di masyarakat kita.
Penulis: Ni Made Sukartini
Artikel lengkapnya dapat dilihat pada link jurnal berikut ini: