UNAIR NEWS – Hari Sumpah Pemuda pada Rabu (28/10/2020) dapat diperingati dengan berbagai bentuk, termasuk melalui implementasi literasi kritis oleh generasi muda. Dalam kacamata ilmu perpustakaan, anak muda sebagai agen perubahan dianggap berperan penting dalam usaha memaknai kemerdekaan dan melanjutkan masa depan bangsa. Maka dari itu literasi kritis dibutuhkan agar pemuda mampu berpikir kritis dan tidak begitu saja larut dalam arus globalisasi.
Pegiat Literasi sekaligus Ketua Yayasan Iqro Semesta Bambang Prakoso, S.Sos., M.IP mengungkapkan bahwa masalah besar yang dihadapi Indonesia pasca kemerdekaan menjadi semakin rumit karena berkutat pada problematika domestik seperti kemiskinan, korupsi, narkoba, pornografi, maupun lemahnya pendidikan. Maka dari itu anak muda sebagai tulang punggung negara diharapkan mampu bersikap lebih kritis dalam menghadapi tantangan-tantangan tersebut.
“Sayangnya, minat baca masyarakat Indonesia itu sangat rendah. Padahal membaca adalah kunci untuk mengembangkan pemikiran kritis. Dengannya kita akan mampu memanfaatkan potensi diri, memecahkan masalah, serta tidak begitu saja terbawa pada arus politik dan iklim ruang publik yang kini tak lagi kondusif,” paparnya dalam Webinar Dies Natalis HIMA D3 Perpustakaan UNAIR yang bertajuk Literasi Kritis untuk Menyongsong Peran Pemuda dalam Kemerdekaan Indonesia
Bambang mencontohkan pada momen pesta demokrasi di mana masyarakat begitu mudah terpecah dan terbawa oleh arus pertarungan antar kubu politik. Oleh karenanya, para pemuda diharapkan mampu hadir sebagai penjernih dan mencegah tumbuhnya ruang publik yang inkondusif. “Ingat, jangan pernah melogika sesuatu dengan ugal-ugalan. Literasi dan pikiran kritis menjadi kunci utama biar kita tidak begitu saja tenggelam terbawa arus dan termakan hoax,” imbuhnya.
Literasi sendiri dimaknai sebagai kemampuan individu untuk menggunakan segenap potensi dan skill yang dimiliki dalam hidupnya. Klasifikasinya sendiri terdiri dari enam dasar, yakni baca tulis, numerasi, sains, ICT, finansial, serta budaya dan kewarganegaraan. Sementara itu tingkatan literasi dapat dilihat pada kemampuan mengumpul sumber informasi dan bacaan, kemampuan memahami teks, kemampuan ide dan gagasan baru, serta kemampuan menciptakan produk baru, barang, maupun jasa yang bernilai.
Untuk meraihnya, Bambang melihat sektor pendidikan serta perpustakaan sebagai episentrum pengetahuan yang harus lebih sering disinggahi oleh generasi muda. “Bagi saya, embrio literasi ada dalam ilmu perpustakaan. Maka untuk meraih literasi kritis tersebut, kita harus berusaha sebisa mungkin untuk memperdekat jarak kita dengan ruang baca dan literasi. Karena jalan dan tiang utama dari peradaban adalah membaca,” tandasnya.
Penulis: Intang Arifia
Editor: Khefti Al Mawalia