PSHK Kritik Omnibus Law Cipta Kerja Mengabaikan Prinsip HAM di Webinar BEM FH UNAIR

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Potret Fajri Nursyamsi, DirekturAdvokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Publik Indonesia (PSHK) dan dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera. (Foto: Dok. Pribadi)

UNAIR NEWS – Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Publik Indonesia (PSHK) Fajri Nursyamsi hadir sebagai narasumber dalam Webinar Krisis Demokrasi yang diadakan oleh BEM FH UNAIR pada Minggu sore (18/10/2020). Bertajuk “Menerka Arah Demokrasi di Indonesia: Masihkah Ia Berpihak Kepada Rakyat?”, webinar ini digelar untuk merespon kontroversi yang menyelimuti pengesahan Omnibus Law Cipta Kerja.

Fajri memaparkan materinya dalam bentuk catatan kritis terhadap produk hukum tersebut. Sebagai pakar hukum tata negara, Fajri menjelaskan alasan bahwa mengapa HAM sangat penting untuk diatur penormaannya di level Undang-Undang (UU)adalah lebih dari sekadar UU berfungsi sebagai pengaturan lebih lanjut dari konstitusi dan HAM merupakan elemen penting dalam pelaksanaan negara hukum dan prinsip-prinsip demokrasi.

“HAM harus diatur di level UU karena UU dibentuk berdasarkan kewenangan legislasi yang dipegang oleh DPR jadi dibentuknya suatu perwakilan rakyat adalah agar mereka dapat menjamin hak asasi manusia rakyat itu sendiri dan UU itu sebagai cerminan dari politik hukum dalam perlindungan HAM,” jelas dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera itu.

Oleh karena itu, Fajri menyayangkan bahwa Omnibus Law Cipta Kerja rasanya sangat kaya akan problema-problema, terutama terhadap sisi transparansi publik dan hak asasi manusia. Ia menilai bahwa penyusunan Omnibus Law Cipta Kerja ini melanggar asas keterbukaan yang diatur menurut UU No. 12 Tahun 2011 dengan draf RUU tidak pernah dipublikasikan secara berkala dan penerimaan aspirasi publik tidak pernah menyeluruh dan sangat sarat dengan kepentingan.

Tidak hanya asas keterbukaan, alumni Universitas Indonesia itu menuturkan bahwa unsur utama mengapa Omnibus Law Cipta Kerja ini sangat kontroversial adalah pengabaiannya terhadap perlindungan hak asasi pekerja atas nama fleksibilitas.

“Para audiens sudah kemungkinan besar pasti tentu sudah mengerti apa saja karena hampir seluruh media massa memberitakannya. Mulai dari pemanjangan jam lembur, penghapusan hak-hak keperempuanan yang diakibatkan oleh upah perjam dan penghapusan hak cuti akibat hamil dan haid. Jadi kita bisa melihat bahwa produk hukum yang disusun oleh perwakilan rakyat dan pemerintah yang dipilih oleh rakyat, sama sekali tidak mencerminkan kepentingan rakyat” ujar Fajri.

Fajri menjelaskan bahwa rakyat yang dirugikan oleh eksistensi undang-undang ini dapat mengajukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar pasal tertentu atau seluruh undang-undang dicabut melalui Keputusan MK. Ia menambahkan bahwa pada hakikatnya ketika Keputusan MK tersebut sudah sah dan berlaku tanpa perlu menunggu tindak lanjut dari lembaga pembentuk UU namun menurutnya implementasi teori tersebut terkadang tidak dilaksanakan.

“Bahkan dengan Revisi UU MK yang sekarang, tindak lanjut itu akan semakin sulit dengan kewajiban bahwa lembaga pembentuk UU harus melakukan tindak lanjut dari Keputusan MK tersebut dihapus. Disini kita bisa melihat sebuah upaya sistematis dalam membuat jalannya demokrasi di Indonesia itu mundur,” terang pakar hukum tata negara itu.

Penulis: Pradnya Wicaksana

Editor: Nuri Hermawan 

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).