Korelasi Perdagangan dan Inovasi

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Nalar.ID

Perdagangan internasional merupakan salah satu bentuk nyata dari globalisasi ekonomi. Para ahli ekonomi percaya bahwa suatu negara akan memperoleh manfaat (gain from trade) jika melakukan pertukaran barang dan jasa dengan negara lain. Selain membuka peluang untuk memperluas pasar produk, perdagangan internasional merupakan tantangan menuntut suatu negara untuk meningkatkan daya saing guna memenangkan persaingan dengan negara-negara lain. Inovasi dianggap sebagai salah satu variabel kunci dari daya saing tersebut. 

Pola perdagangan internasional antar negara mengalami perubahan yang pesat. Pada awalnya ekspor dan impor antar negara dilakukan pada jenis komoditas yang berbeda berdasarkan keunggulan komparatif. Dalam perspektif industri, pola tersebut dinamakan dengan inter-industry trade. Namun, pada saat ini perdagangan global didominasi oleh intra-industry trade (IIT) yang bertumpu pada diferensiasi produk dan economies of scale. IIT memungkinkan suatu negara memproduksi dan melakukan perdagangan jenis komoditas yang relatif sama dengan negara partner dagang. Berdasarkan jenisnya, IIT terdiri dari vertical IIT (VIIT) dan horizontal IIT (HIIT) dimana VIIT mempertimbangkan perbedaan dalam kualitas komoditas sedangkan HIIT tidak.

Perkembangan IIT cenderung terjadi pada perdagangan antar negara dalam suatu kawasan yang terikat oleh integrasi ekonomi (blok perdagangan) seperti ASEAN (AFTA) dan asia pasifik (NAFTA). Pada kasus produk elektronik dan telematika di ASEAN-5 (Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Singapura), perdagangan tumbuh pesat sejak tahun 2001. Pada periode 2001-2016 Singapura menghasilkan nilai perdagangan terbesar, yaitu sekitar US$ 387,2 juta atau rata-rata sekitar US$ 25,6 juta per tahun. Pada periode yang sama Filipina menghasilkan nilai perdagangan terkecil, yaitu sekitar US$ 50,3 juta atau rata-rata sekitar US$ 3,3 juta per tahun. Meskipun nilai perdagangan Indonesia rendah, tetapi memiliki pertumbuhan tertinggi dibandingkan dengan negara-negara lainnya, yaitu rata-rata sekitar 31,3 persen per tahun. Sementara itu, sebagai salah satu negara dengan kekuatan terbesar di dunia, China memiliki pertumbuhan perdagangan produk elektronik dan telematika lebih pesar daripada ASEAN-5. Bahkan sejak tahun 2005 nilai ekspor dan impor China masing-masing melebihi nilai total ekspor dan impor ASEAN-5.

ITT memberikan banyak manfaat, salah satunya adalah dapat menstimulus peningkatan inovasi. The Product Cycle Theory memainkan peranan dalam menjelaskan proses inovasi pada tingkat produk, industri, maupun kluster. Menurut Global Innovation Index (GII), Singapura memiliki rata-rata skor GII tertinggi, yaitu sebesar 59,3 pada periode 2013-2016. Selanjutnya diikuti oleh China, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Indonesia dengan rata-rata skor GII masing-masing sebesar 48,4; 45,5; 37,2; 31,5; dan 30,7. Salah satu komponen penting pembentuk GII adalah pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan (R&D). Indonesia memiliki pengeluaran R&D terendah, yaitu rata-rata sebesar 7 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain dalam kelompok ASEAN-5 dan China. Filipina saja mengeluarkan 12 persen dari PDB untuk R&D. Thailand dan Malaysia masing-masing mengeluarkan 24,4 persen dan 76,42 persen untuk R&D. Sementara itu, China dan Singapura mengeluarkan dalam jumlah besar, yaitu masing-masing sebesar 129,5 persen dan 200 persen. 

Selain pengeluaran R&D, inovasi meliputi banyak indikator diantaranya jumlah kekayaan intelektual, kemajuan teknologi, nilai aset tidak berwujud, pengeluaran untuk pemasaran produk baru, serta perubahan struktur organisasi dan manajemen. Pada skala makro, mengacu pada Kerangka Model Solow, inovasi seringkali diukur menggunakan Total Factor Productivity (TFP) sebagai ukuran tunggal.  

Kami mencoba menguji pengaruh VIIT terhadap inovasi pada kasus ASEAN-5 + China menggunakan pendekatan kuantitatif. Inovasi diukur oleh TFP pada produk elektronik dan telematika sebagai salah satu produk prioritas yang dikembangkan oleh Indonesia. Swiss, Jepang, Korea Utara, dan Amerika Serikat dipilih sebagai innovator benchmark berdasarkan konsistensi kinerja inovasi pada periode 2013-2017. Hasil studi menunjukkan bahwa tidak ada bukti yang cukup tentang pengaruh VIIT pada inovasi di ASEAN-5 dan China untuk produk tersebut. VIIT terkonsentrasi pada negara-negara yang memiliki kinerja inovasi yang tinggi. Temuan lain menunjukkan bahwa semakin besar kesenjangan teknologi antara negara-negara maju (benchmark), semakin besar efek difusi teknologi pada VIIT. 

Penulis: Deni Kusumawardani

Tulisan ini disarikan dari artikel berjudul “Innovation of vertical intra-industry trade: Asean-5 and China electronic and telematics sectors”, Opción, Año 36, Especial No.26 (2020): 206-224.

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).