Masalah sosial banyak ditemukan di masyarakat pesisir, terutama sangat terkait dengan permukiman kumuh dan pendidikan yang buruk, termasuk masalah gender. Infrastruktur yang tidak memadai membuat wilayah pesisir sulit keluar dari zona kemiskinan. Perempuan pesisir berpendidikan rendah. Apa yang diketahui secara luas tentang perempuan pesisir tidak hanya pendidikannya yang buruk, tetapi juga kapasitas utamanya sebagai ibu rumah tangga tanpa penghasilan tambahan yang berarti.
Sebenarnya para perempuan pesisir memiliki akses pendidikan, namun aspek sosial dan budaya yang ada mempengaruhi pola pikirnya. Perempuan yang tinggal di pesisir pantai juga berperan dalam perekonomian keluarga. Mereka tidak tinggal di rumah, malah membantu suaminya mengumpulkan hasil laut untuk dijual di pasar atau di tempat pelelangan. Keadaan ini menggambarkan kehidupan perempuan pesisir yang selalu disibukkan dengan perikanan dan mengesampingkan pentingnya pendidikan.
Kehidupan di pesisir, seperti daerah Jawa, mengandung nilai-nilai sosial yang khas dari masyarakat daerah lainnya, misalnya, tidak dapat menghargai pentingnya pendidikan untuk karir masa depan. Penduduk pesisir Jawa menyimpulkan bahwa dengan menghasilkan dari komoditas laut, tidak perlu mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Ini menunjukkan betapa pengetahuan mereka masih terbelakang, akibatnya, para perempuan enggan memfasilitasi diri untuk pendidikan yang memadai, sehingga didiskriminasi dan disubordinasikan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yaitu dengan memperoleh data kualitatif melalui pedoman wawancara. Penelitian dilakukan di empat kabupaten yang dikelompokkan berdasarkan karakteristik budaya masing-masing: (1) Kabupaten Blitar dan Tulungagung mewakili pantai selatan (Budaya Jawa-Mataraman), (2) Kabupaten Lamongan dan Tuban mewakili pantai utara (Budaya Jawa Utara). Sebanyak 70 informan yang diwawancarai yang memiliki kriteria sebagai berikut: anak putus sekolah, orang tua dari anak perempuan putus sekolah, guru, dan tokoh masyarakat.
Perempuan Jawa umumnya diidentikkan sebagai perempuan yang lemah lembut, penyayang, dan penurut, dan sosok ini telah dirumuskan ke dalam sistem sosial budaya. Kriteria perempuan ideal bagi seorang suami adalah memiliki kelembutan dan kerendahan hati, oleh karena itu para perempuan terkendala untuk selalu manut. Perempuan Jawa secara tradisional dianggap sebagai warga kelas dua karena keberadaannya dianggap lebih rendah dari laki-laki. Perempuan yang dibesarkan dalam keluarga Jawa memiliki kapasitas terbatas dibandingkan laki-laki yang diberi hak istimewa untuk menentukan pilihan dalam hidup dan menghasilkan anak yang dapat diandalkan.
Hampir semua lapisan masyarakat Jawa masih menganut sistem budaya patriarki. Baik bagi keluarga miskin maupun elit, nilai-nilai patriarki masih tetap eksis. Bedanya, pada kelas bawah atau masyarakat miskin, perempuan terjerat dalam zona patriarki karena faktor ekonomi. Selain itu, terdapat konsepsi yang kuat bahwa laki-laki memiliki status dan peran sosial yang lebih besar daripada perempuan. Kunci hegemoni patriarki pada kaum miskin terjadi pada ketergantungan ekonomi perempuan pada laki-laki, terutama di sektor publik. Perempuan pesisir secara khusus memandang bahwa pendidikan itu immaterial, oleh karena itu tidak mengherankan bila perempuan pesisir dipandang sebagai penghuni yang terbelakang.
Perempuan pesisir di empat kabupaten terseret ke dalam skema kemiskinan terstruktur yang dilaksanakan oleh negara. Nelayan perempuan rentan terhadap kebijakan pembangunan yang mengutamakan peningkatan produksi perikanan laut sebagai sumber pendapatan negara dengan mengabaikan nelayan miskin yang terpinggirkan. Masyarakat pesisir Jawa tampak sangat santai dan tidak melakukan upaya apapun untuk memperkuat dan memberdayakan perempuan.
Salah satu skema diskriminasi terhadap perempuan pesisir adalah kesulitan mendapatkan kartu penangkapan ikan dan izin kapal penangkap ikan. Perjuangan perempuan akan dikenali melalui kartu yang memfasilitasi untuk mendapatkan akses kesehatan, pendidikan, dan hak-hak lain yang dijamin oleh pemerintah. Birokrasi berpendapat bahwa perempuan tidak dibangun untuk mencari ikan dan kurang mampu menjadi nelayan. Namun kenyataannya, ada perempuan yang menangkap ikan dan hewan lain dari perairan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Dalam hal ini, perempuan mengalami penindasan ganda, yaitu ketidakmampuan memberdayakan potensi laut dan tidak diakui perempuan sebagai nelayan karena bias gender.
Keluarga nelayan Jawa masih memegang teguh aturan tak tertulis tentang peran perempuan di sektor domestik. Para nelayan umumnya tidak berpendidikan tinggi, melainkan berpendidikan lebih rendah. Realitas ini diperkuat oleh sistem sosial dan budaya yang menasihati anaknya untuk menjadi nelayan daripada menempuh pendidikan tinggi. Selain itu, akses perempuan terhadap pendidikan dan lembaga ekonomi juga sangat terbatas. Nelayan di empat kabupaten percaya bahwa anak perempuan adalah aset, melatih anak perempuan bekerja untuk mendapatkan uang dianggap lebih mudah daripada memberikan pendidikan. Perempuan pesisir Jawa mengalami subordinasi, pertama, adanya faktor budaya; kedua, faktor kemiskinan.
Penulis: Drs. Sudarso, M.Si.
Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di: http://produccioncientificaluz.org/index.php/opcion/article/view/30906
Sudarso, Sudarso; Keban, Phillipus Edy; and Mas’udah, Siti (2019). Poverty, Lack Of Awareness Of Gender Education, And Patriarchy Among Javanese Coastal Women, Año 35, No Especial 21 (2019): 2899-2921