TBC merupakan satu dari 10 penyebab kematian tertinggi di dunia. Pada tahun 2017, 10 juta orang terinfeksi TBC dan 1,6 juta meninggal karenanya. Dan Indonesia merupakan salah satu negara penyumbang terbesar kasus TBC ini. Untuk itu, pada tahun 1995 pemerintah Indonesia menerapkan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-Course) yang dijalankan di Puskesmas secara bertahap dan pada tahun 2000 strategi DOTS diterapkan lebih luas pada semua fasilitas kesehatan terutama di Puskesmas.
Puskesmas merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan yang memiliki wilayah kerja dan berhubungan langsung dengan masyarakat. Hal ini menjadikan Puskesmas memiliki tanggung jawab yang besar terhadap masalah kesehatan di masyarakat. Namun pada kenyataannya banyak masalah yang terjadi di lapangan termasuk dalam pelaksanaan program TBC di Puskesmas. Lalu, bagaimanakah program TBC ini sebenarnya dijalankan?
Langkah pertama penanganan TBC adalah dengan penemuan kasus. Penemuan kasus TBC di Puskesmas dapat dilakukan secara pasif dan aktif. Penemuan kasus secara pasif dilakukan ketika pasien yang mengalami gejala-gejala TBC datang ke Puskesmas untuk memeriksakan diri. Penemuan kasus secara aktif dilakukan dengan skrining oleh petugas kesehatan dan kader. Kader kesehatan akan melakukan pelacakan kasus (contact tracing) pada keluarga, tetangga, dan orang yang sering kontak dengan pasien TBC.
Setelah penemuan kasus, maka diagnosis berperan penting agar pasien yang positif TBC dapat segera diatasi. Diagnosis TBC dilakukan dengan pemeriksaan dahak sebanyak dua kali yaitu saat pertama datang ke Puskesmas dan keesokan paginya. Saat ini diagnosis TBC dapat dilakukan dengan cepat menggunakan tes cepat molekuler. Cepatnya dignosis ini bertujuan agar pasien dapat segera diobati jika ternyata positif menderita TBC.
Pasien yang telah terdiagnosis TBC diberikan konseling tentang pengobatan yang harus dijalaninya karena pengobatan TBC ini berlangsung lama yaitu selama 6 bulan. Pasien harus melakukan pengobatan sesuai peraturan dan jenis TBC yang dideritanya. Pengambilan obat tergantung pada perjanjian antara pasien dan petugas TBC. Pada beberapa Puskesmas, pasien harus mengambil obat seminggu sekali pada hari yang telah ditentukan. Pada hari tersebut pasien akan diberi persediaan obat selama seminggu kedepan. Namun ada juga Puskesmas yang membebaskan waktu kedatangan pasien sehingga pasien bisa datang setiap 2 minggu atau lebih selama ada pemberitahuan pada petugas TBC di Puskesmas.
Oleh karena lamanya pengobatan dan banyaknya pasien TBC, maka ketersediaan obat menjadi hal yang sangat penting dalam menangani TBC. Umumnya Unit Farmasi Puskesmas akan segera membuat laporan permintaan obat sebelum kehabisan. Namun ada juga Puskesmas yang meminjam stok obat dari Puskesmas lain saat mengalami kehabisan obat. Oleh karena itu, sistem pencatatan dan pelaporan terkait TBC akan dilakukan secara internal setiap bulan serta dilaporkan ke Dinas Kesehatan setiap tiga bulan. Hal ini bertujuan untuk memonitor bagaimana pelaksanaan program TBC di lapangan.
Penulis: Ni Njoman Juliasih
Artikel lengkapnya dapat diakses melalui link berikut ini: