Preeklamsia adalah komplikasi pada kehamilan yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah (hipertensi) dan minimal satu gangguan pada organ tubuh (misalnya keluarnya protein dalam air kencing) yang terjadi pada ibu hamil setelah usia hamil mencapai 5 bulan ( 20 minggu). Preeklampsia merupakan kondisi gawat darurat karena bisa menimbulkan komplikasi yang berat pada ibu dan janin dan bahkan kematian. Salah satu komplikasi yang sering terjadi adalah terjadinya kejang yang disebut eklampsia. Untuk mencegah terjadinya kejang pada pasien preeklampsia ini diperlukan pemberian obat anti kejang yaitu Magnesium Sulfat (MgSO4). Obat ini diberikan secara injeksi melalui pembuluh vena atau injeksi dalam otot. Pemberian MgSO4 ini terbukti dapat mengurangi terjadinya kejang pada pasien preeklampsia. MgSO4 ini bekerja dengan cara menghambat rangsangan kejang di otak, melebarkan pembuluh darah sehingga mencegah kekurangan oksigen di otak yang bisa memicu kejang. Obat ini merupakan obat pilihan utama untuk mencegah kejang pada preeklampsi, karena selain dapat mencegah kejang obat ini juga mempunyai manfaat untuk melindungi otak bayi dari kerusakan pada persalinan prematur. Dalam penelitian Magpie, dikatakan MgSO4 ini dapat mencegah terjadinya kejang pada pasien preeklampsia sebesar 58%.
Walaupun angka kejadiannya relative rendah namun diduga pemberian obat ini juga beresiko memicu terjadinya keracunan/ intoksikasi magnesium (hypermagnesemia) yang bisa berakibat fatal. Keracunan magnesium ini dapat terjadi bila kadar magnesium dalam darah melebihi dosis maksimal yang diperbolehkan yaitu 12 ml/dl. Namun sayang pengukuran kadar magnesium pada pasien preeklampsia yang mendapat terapi MgSO4 ini bukan hal yang rutin karena keterbatasa fasilitas dan sedikitnya laboratorium yang dapat memeriksa kadar magnesium ini, sehingga diagnosis intoksikasi ini terdeteksi bila pasien mengalami gejala keracunan seperti mual muntah, hilangnya reflek lutut, depresi nafas, dan penurunan kesadaran. Dan biasanya hal ini terjadi pada pasien yang mempunyai gangguan ginjal atau yang mendapatkan dosis yang berlebihan.
Pada penelitian di Rs Dr. Soetomo selama 5 tahun dilaporkan terdapat 19 kasus intoksikasi mgSO4 diantara 6823 kasus preeklampsia (1.09%). Insiden intoksikasi ini hampir sama dengan insiden yg dilaporkan suatu sistematik review yang melibatkan 9556 kasus yaitu sebesar 1.3-1.6%. Angka ini terbilang rendah jika dibandingkan dengan kasus preeklampsia yang mendapat terapi MgSO4 di dunia. Kadar Magnesium rata-rata dalam darah pada kasus yang mengalami intoksikasi adalah sebesar 12.36 ± 3.45 mg/dL. Angka ini lebih tinggi secara signifikan dibanding pasien yang tidak mengalami intoksikasi yaitu 2.69 ± 0.83 mg/dL.
Gejala intoksikasi yang tercatat pada penelitian ini antara lain hilangnya reflek lutut pada 42% kasus, depresi nafas sebesar 10.5% kasus dan penurunan kesadaran sejumlah 42.1% kasus. Dilaporkan 3 kematian ibu pada kasus intoksikasi ini, namun setelah ditelusuri kematian ini bukan akibat lansung dari tingginya kadar magnesium tetapi karena komplikasi yang lain yaitu infeksi, krisis tiroid dan perdarahan otak. Pada pasien yang mengalami intoksikasi dilaporkan tingginya komplikasi pada ibu dan janin antara lain eklampsia, sindrom Hellp, gagal ginjal, kematian ibu, hambatan pertumbuhan janin , dan kematian janin. Faktor resiko terjadinya intoksikasi ini diduga berhubungan dengan pemberian MgSO4 dalam jangka waktu yang lama (salah satu kasus mendapatkan MgSO4 selama 5 hr), fungsi ginjal yang buruk sehingga produksi kencing kurang. Oleh karena itu perlu dilakukan pengukuran kadar magnesium pada pasien yang mendapatkan MgSO4 lebih dari 24 jam dan pasien yang mempunyai fungsi ginjal yang buruk. Kasus yang dicurigai terjadi intoksikasi dapat diberikan obat penawar yaitu kalsium glukonas, yang diberikan melalui injeksi pada vena, dan dari laporan penelitian ini dikatakan bahwa respon pasien cukup baik, terbukti dengan hilangnya gejala intoksikasi setelah pemberian kalsium glukonas.
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah intoksikasi magnesium ditemukan pada 1% kasus preeklampsia yang mendapat terapi magnesium sulfat, dan beresiko terjadinya komplikasi yang fatal pada ibu dan janin. Faktor resiko terjadinya intoksikasi ini diduga berhubungan dengan pemberian MgSO4 dalam jangka waktu yang lama (lebih dari 24 jam) dan fungsi ginjal yang buruk. Karena pengukuran kadar magnesium dalam serum tidak secara rutin dilakukan, maka evaluasi yang ketat terhadap gejala intoksikasi dini adalah metode efektif untuk mendeteksi lebih awal adanya intoksikasi magnesium.
Penulis: Dr. Ernawati, dr. SpOG(K) Link terkait tulisan di atas: https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/10641955.2020.1754851?journalCode=ihip20