Mengupas Kelahiran Influencer: dari Alat Propaganda hingga Identity Selling

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

UNAIR NEWS – Di era kontemporer, influencer merupakan salah satu kata subyek yang begitu akrab di telinga masyarakat, khususnya anak muda. Influencer kini telah hadir sebagai tren baru yang berkembang pesat di lingkup sosial media. Secara bahasa, influencer dapat diartikan sebagai sesuatu yang mempengaruhi keputusan seseorang. Pelakunya sendiri dapat berupa manusia, ideologi, nilai, seni, maupun hal lain yang memiliki pengaruh kuat.

Karena itu, siapa yang menyangka, sejarah awal munculnya fenomena influencer ternyata bukanlah dijalankan individu, melainkan ideologi dan propaganda. Menurut Nisa Kurnia Illahiati, S.Sos., M.Med.Kom, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga (UNAIR), fenomena menuju influencer era kontemporer telah terlihat sejak Perang Dunia II. Pada masa itu, Adolf Hitler berusaha menyebarluaskan doktrin Nazi lewat berbagai propaganda di penjuru Eropa melalui sang Menteri Propaganda Joseph Goebbels.

Persuasi sebagai pengemasan pesan akhirnya mulai digunakan untuk mengubah pemikiran dan sikap masyarakat agar sesuai dengan yang mereka inginkan. Goebbels sendiri hingga kini begitu dikenal karena mencetuskan teori propaganda bernama Big Lie (kebohongan besar). Dalam strategi tersebut, Goebbels berkeyakinan bahwa berita bohong dapat diubah menjadi suatu kebenaran hanya dengan menyebarluaskan kebohongan tersebut secara massif dan terus-menerus melalui media massa.

“Fenomena itu yang kemudian membentuk konsep utama dari influencer. Persuasi yang menyasar pada what we thinking.” ujar Nisa.

Fenomena influencer kemudian berlanjut melalui media komunikasi massa, seperti surat kabar dan radio. Akan tetapi di masa itu, bahasan utama mereka masih berkutat pada perihal ideologi dan imperialisme karena perang yang masih terus berlangsung.

Hingga Perang Dunia II berakhir, fenomena influencer mulai mengalami pergeseran dan transformasi. Saat dunia berusaha membangkitkan ekonomi pasca perang, fenomena influencer beralih fokus ke industri dan konsumerisme. Sehingga pada era tersebut fenomena influencer yang digunakan untuk keperluan komersilmulai berkembang.

Selanjutnya, kehadiran era digital di tahun 1990-an diikuti oleh perkembangan pasar konsumen yang semakin tersegmentasi. Segmentasi yang terbentuk membuat para influencer mulai membangun niche market mereka sendiri. Artinya, mereka harus mampu melihat segmentasi masyarakat mana yang menjadi sasaran mereka dengan memanfaatkan momen, interest, tren, dan berbagai aspek lain.

Puncaknya sekitar tahun 2009, media sosial yang semakin menjamur dan membangun jaringan koneksi massal dimanfaatkan sebagai platform baru bagi para influencer. Pada tahun-tahun tersebut, istilah influencer seperti yang kita pahami sekarang mulai terbentuk.

“Mereka adalah orang-orang yang memiliki banyak pengikut dan berusaha untuk present and spreads their values kepada masyarakat. Bagi pengikutnya, influencer itu dianggap seperti role model yang harus diikuti.” ungkap Nisa.

Kurang lebih, para influencer menyasar aspek sosial dan psikologis pengikutnya. Karena dalam ranah virtual, masyarakat akan selalu haus pengakuan dan image. Karena itu, influencer secara tidak langsung hadir sebagai ideal person yang membangun ideal standard dalam berbagai aspek.

“Bagi para pecinta indie, mereka pasti mengikuti Pamungkas, Fiersa Besari, dan berbagai budaya kaum penikmat senja. Mereka pasti ingin mengikuti imajinasi, standar, dan gaya hidup dari idola mereka. Ternyata, hal tersebut menghasilkan niche market yang salah satunya mampu mempopulerkan coffee shop.”ungkap Nisa.

Melihat pengaruh influencer yang semakin massif, tidak mengherankan jika di Indonesia pekerjaan influencer semakin menjamur dan menjadi pekerjaan dambaan kaum milenial. Beberapa influencer terkenal di Indonesia seperti Deddy Corbuzier, Awkarin, Rachel Vennya, Tasya Farasya, dan Reza Arap, selalu membawa berbagai konten, identitas, dan values yang mencoba mereka ‘jual’ kepada pengikutnya.

“Semua itu tidak hanya menghasilkan pengaruh. Tapi juga profit secara ekonomis. Makanya transformasi fenomena influencer begitu signifikan. Dari yang awalnya alat propaganda ideologi, kini beralih ke jualan identitas, produk, fashion, gaya hidup, maupun berbagai hal lain yang menarik bagi pengikutnya. Dan saya yakin, industri tersebut akan semakin bertumbuh di masa depan.” tandasnya.

Penulis: Intang Arifia

Editor: Feri Fenoria

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).