Mengimpor kebutuhan pangan melalui mekanisme perdagangan internasional adalah suatu hal yang umum bagi negara-negara di dunia. Sangat langka suatu negara mampu memenuhi kebutuhan seluruh pangannya mandiri, tanpa suplai dari negara lain. Globalisasi dan urbanisasi telah merubah kebiasaan pola konsumsi masyarakat di dunia. Rejim perdagangan bebas telah meruntuhkan hambatan perdagangan dan memudahkan konsumen untuk mengakses bahan pangan impor. Ketidakcukupan bahan pangan lokal yang dibutuhkan juga menjadi pertimbangan untuk melakukan impor. Negara berdalih bahwa impor pangan dibutuhkan untuk menjamin suplai nasional sekaligus menjaga food security (keamanan pangan).
Impor pangan menjadi sensitif terutama dikaitkan dengan staple food (bahan pokok)) seperti gandum, beras, jagung yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat. Gandum (Triticum Aestivum) bersama jagung, beras adalah komoditas pangan paling banyak diperdagangkan didunia dan mempunyai nilai strategis. Kerusuhan, dan ketidakstabilan acap kali terjadi di negara berkembang yang belum mampu memenuhi kebutuhan pangan, karena masyarakat tidak mampu mengakses kebutuhan pokok.
Mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS), Henry Kissinger melontarkan idenya yang terkenal tentang pangan sebagai alat strategis bagi keamanan Nasional AS yaitu “Siapa mengontrol suplai pangan berarti mengontol bangsa”. Pengelolaan bahan pangan pokok oleh pemerintah merepresentasikan kemampuan mendasar dalam mengelola perekonomian dan kesejahteraan warga negaranya. Dalam hubungan antar bangsa, negara pengekspor dimungkinkan memiliki posisi tawar lebih tinggi daripada negara importer terutama negara dengan tingkat ketergantugan impor pangannya tinggi.
Indonesia sepenuhnya masih bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan gandum. Sejak 2018, Indonesia menjadi negara pengimpor gandum terbanyak didunia dengan jumlah 10.096.299 juta ton. Ini merupakan 6,1 % dari jumlah total impor dunia (BPS,2019). Posisi Indonesia sebagai pengimpor gandum nampaknya tidak akan berubah karena pesatnya konsumsi kebutuhan domestik terhadap gandum baik untuk orang dan ternak. Diperkirakan Indonesia akan membutuhkan sekitar 11,3 juta ton gandum dari pasar global pada periode 2019-2020 (USDA, 2019).
Australia merupakan partner tradisional yang mendominasi suplai gandum di Indonesia. Tahun 2012-2017, negara ini menguasai 50-60% impor gandum di Indonesia. Pada tahun 2018, mengutip Biro Pusat Statistik Indonesia (BPS) empat negara teratas pengimpor gandum di Indonesia adalah Ukraina (2.419.768) juta ton, Australia (2.419.709), Kanada 1973.706, dan AS 904.174. Meski Ukraina tahun ini sedikit melampau Australia sebagai negara pengimpor gandum terbanyak di Indonesia, namun sesungguhnya gandum Ukraina lebih banyak untuk pakan ternak menggantikan impor jagung yang dilarang untuk melindungi jagung domestik.
Kecenderungan ketergantungan terhadap suplai gandum impor khususnya dari Australia ini menimbulkan pertanyaan. Apa artinya ketergantungan impor gandum ini khususnya bagi keamanan pangan Indonesia? Apakah ketergantungan impor gandum akan memberi kontribusi untuk ketahanan pangan Indonesia atau justru sebaliknya menimbulkan ketidak amanan pangan?
Pro dan Kontra Impor Gandum Australia
Terdapat pertimbangan keuntungan komparatif dari impor gandum dari Australia. Fakta bahwa Australia penghasil gandum terbesar didunia, sementara Indonesia belum mampu memproduksi gandum secara ekonomis. Kondisi cuaca dan iklim di Indonesia ditengarai menjadi faktor penghalang bagi tumbuhnya gandum di negara ini. Gandum dari Australia ini mendukung ketersediaan pangan ketika produksi lokal tidak mampu memenuhi menyediakan. Bagi Indonesia maka ini adalah opsi yang paling realistik untuk menjamin kebutuhan gandum yang terus meningkat. Dikaitkan dengan kebutuhan untuk mendukung keamanan pangan, maka tidak bisa dipungkiri bahwa impor gandum ini mendukung ketersediaan suplai dalam negeri.
Faktor kedekatan geografis antara Indonesia dan Australia menambahkan keuntungan komparatif dalam perdagangan gandum keduanya. Dibandingkan dengan negara produser gandum dunia lain, Australia adalah negara terdekat dengan wilayah Indonesia. Mengimpor gandum dari Australia adalah cara yang efisien dalam hal waktu dan biaya transportasi. Adalah logis bahwa kedekatan geografis ini menjadi faktor menentukan penguasaan pasar gandum di Indonesia oleh Australia.
Ketergantungan Indonesia terhadap gandum Australia juga dipicu oleh permintaan pasar. Produser tepung terigu Indonesia mengakui bahwa gandum asal Australia adalah paling sesuai dengan kebutuhan produksinya. Bagi industri penggilingan gandum, jenis gandum putih asal Australia adalah yang paling cocok untuk produksi mi yang saat ini dikonsumsi secara luas (APTINDO 2017). Kharakter khusus gandum Australia ini tidak dapat digantikan oleh gandum dari negara lain.
Namun kondisi ketergantungan ini juga memberikan resiko terhadap masa depan kemandirian (self sufficiency) dan kedaulatan (Sovereignty) pangan Indonesia. Indonesia tidak hanya sebagai pengimpor terbesar gandum didunia sekaligus hampir 100 % bergantung pada impor. Ini adalah bertentangan dengan ide nasional untuk merealisir kemandirian dan kedaulatan pangan yang dicanangkan oeh Presiden Jokowi sejak awal pemerintahan Periode 1, Nawa Cita.
Impor pangan membantu kesediaan pangan (food availability) nasional, tapi juga merugikan produksi pangan lokal. Perubahan pola makan masyarakat Indonesia yang beralih ke produk gandum telah menyingkirkan pangan lokal. Keprihatinan terhadap kualitas produk impor akan kandungan berbahaya misalnya karena Indonesia tidak mempunyai wewenang dalam proses produksi gandum di luar wilayah RI. Otoritas Indonesia lemah dalam pengawasan ini.
Kondisi ketergantungan terhadap impor pangan yang masif beresiko bagi masa depan pangan Indonesia. Peningkatan harga pangan impor secara drastis akan berdampak pada turunnya kemampuan daya beli masyarakat. Ketergantungan kronis terhadap impor gandum ini juga akan menguras nilai tukar rupiah. Kondisi ini sudah dialami ketika krisis keuangan Asia pada tahun 1997 saat nilai tukar Indonesia anjlok dan berimbas pada turunnya daya beli masyarakat secara drastis. Inflasi terhadap gandum dimungkinan akibat petani di Australia menghadapi perubahan iklim yang menganggu kualitas dan kuantitas produksi gandum. Dilaporkan bahwa desertifikasi yang masif telah terjadi di Australia telah menggangu produksi gandum (Hochman et.all, 2017; Minchin,2019). Turunnya pasokan akan menaikkan harga gandum di pasar internasional.
Ketergantungan terhadap impor gandum ini rentan bagi Indonesia. Gangguan hubungan dagang kedua pihak dimungkinkan terjadi mengingat sejarah dinamika hubungan keduanyaa berfluktuasi, mengalami krisis dan ketegangan yang berimbas pada sektor ekonomi. Perselisihan dagang keduaanya pernah terjadi terkait komoditi impor sapi Australia, dimana Indonesia mempunyai ketergantungan tinggi pada komoditi ini. Akibat memburuknya hubungan diplomatik kedua negara, Australia menyetop kran ekspor sapi sehingga menimbulkan kekacauan di pasar Indonesia karena mahalnya harga daging sapi. Skenario semacam ini dimungkinkan terulang dimasa mendatang pada kasus gandum.
Kesimpulan, Indonesia sesungguhnya menghadapi dilemma akibat ketergantungan tinggi terhadap gandum impor Australia. Disatu sisi terdapat kebutuhan yang terpenuhi, disisi lain resiko buruk yang akan melemahkan keamanan pangan Indonesia juga membayangi. Namun upaya untuk menghilangkan ketergantungan terhadap impor bukan hal yang mudah karena Indonesia belum mempersiapkan diri untuk memenuhi pasar gandum lokal.
Penulis: Sartika Soesilowati
Artikel lengkapnya dapat dilihat pada link berikut ini: