Perempuan mendominasi sebagai korban dalam perdagangan manusia (human trafficking) global saat ini. Mengutip laporan perbudakan modern global menyatakan bahwa sejumlah 40,3 juta orang telah menjadi korban perdagangan manusia dan diperkirakan 71% dari mereka adalah perempuan dan anak/remaja perempuan (GSI, 2018). Bahkan yang lebih miris, dalam industry sex internasional, hampir 99 % korban nya adalah perempuan. Kawasan Asia Tenggara ditengarai menunjukkan kondisi yang memprihatinkan terkait dengan permalahan perdagangan perempuan ini. Wilayah ini menunjukkan angka yang tinggi sebagai destinasi, asal dan transit bagi perdagangan manusia di dunia. Indonesia, Myanmar, Thailand dan Filipina tergolong 20 negara teratas yang masih mempraktekkan perbudakan modern dan lebih kurang 50-60 % dari korban perdagangan tersebut adalah perempuan dan anak. Menurut Persatuan Bangsa Bangsa urusan Perempuan (UN Women) setiap tahunnya tidak kurang dari 225.000 perempuan dan anak-anak diperdagangkan di Asia Tenggara. Masalah perdagangan perempuan di kawasan ini adalah serius menurut standar internasional.
Penyebab maraknya perempuan menjadi korban kejahatan disebabkan oleh berbagai faktor mulai dari kemiskinan, ketimpangan gender, pendidikan yang rendah, pengaruh globalisasi, hingga lemahnya kebijakan dan kontrol perbatasan antar negara (Perry K.M dan Mc. Ewing. L (2013). Negara sesungguhnya bertanggung jawab secara sistematik untuk melindungi warganya, terutama yang paling rentan yaitu perempua dan anak-anak. Pemerintah mempunyai kewenangan dan kapasitas untuk melakukan tindakan yang signifikan dalam melindungi perempuan terhindar dari kejahatan ini. Upaya domestik adalah yang paling esensial dalam memerangi perdagangan manusia ini. Maraknya perdagangan manusia tersebut disinyalir karena lemahnya otoritas nasional. Laporan Perdagangan Manusia (TiP) AS menyatakan negara dikawasan Asia Tenggara seperti Kamboja, Brunei,Vietnam, Singapura dan Thailand termasuk kategori Tier 2, sebagai negara yang belum memenuhi kriteria minimum perlindungan korban perdagangan manusia. Burma lebih parah, dimasukkan kategori Tier 3 sebagai negara yang sama sekali tidak menunjukkan upaya dalam memberantas perdagangan manusia.
Kompleksnya permasalahan perdagangan manusia ini, antara lain sifat transnational, menyebaban upaya untuk membasmi kejahatan serius ini tidak hanya menjadi domain nasional. Kerjasama secara regional dan multilateral adalah juga komponen kunci. Sesungguhnya, komitmen bersama negara-negara di kawasan Asia Tenggara guna memutus rantai perdagangan manusia ini telah dilakukan sejak tahun 2004 melalui Deklarasi ASEAN menentang Perdagangan manusia, khususnya Perempuan dan anak. Pernyataan ini ditindak lanjut dengan Konvesi ASEAN tentang Perdagangan Manusia khusunya Perempuan dan Anak (ACTIP-WC) pada tahun 2015. Konvesi ini bertujuan untuk memperkuat upaya bersama ASEAN dalam menentang perdagangan manusia secara regional. Seberapa jauh kerjasama antar anggota ASEAN dalam memerangi maraknya perdagangan perempuan di kawasan Asia Tenggara?
Konvensi ini menunjukkan pengakuan ASEAN tentang urgensi menangani masalah perdagangan perempuan. Sekaligus menggarisbawahi pentingnya membasmi kejahataan transnational ini secara regional. Yang lebih penting lagi adalah konvensi ini memberikan kerangka kerja legal bagi anggotanya dalam bekerjasama melawan kejahatan ini. Dengan perjanjian yang lebih mengikat maka diharapkan kerjasama ini akan dapat dijalankan secara efektif. Ratifikasi ACTIP adalah langkah penting untuk efektifnya implementasi dari perjanjian ini. Namun sayangnya hingga tahun 2020 tidak semua negara meratifikasi konvensi yang sudah dikeluarkan sejak 2015. Diantara sepuluh negara di ASEAN, 8 negara ASEAN yaitu Filipina, Malaysia, Thailand, Burma, Laos, Singapura, Vietnam telah meratifikasi sedangkan Indonesia dan Brunei belum meratifikasi. IDisayangkan, Indonesia yang memiliki tigkat perdagangan perempuan yang tinggi sekaligus diharapkan garda depan dalam membasmi kejahatan ini di kawasan Asia Tenggara justru belum meratifikasi bahkan setelah lina tahun konvesi tersebut disepakati.
Tindkaan Indonesia yang tidak meratifikasi dapat di asumsikan bahwa konvensi ini tidak terimplementasi secara sukses. Fakta tidak semua meratifikasi juga dapat di artikan bahwa tidak hanya menunjukkan kurangnya kebersamaan diantara negara ASEAN juga mengilustrasikan lemahnya pengertian tentang “mengikat secara hukum” diantara negara anggota. Memang sejauh ini juga tidak ada garansi bahwa anggota ASEAN akan mematuhi perjanjian regional meski mereka telah meratifikasi. Kendala utama adalah ASEAN masih menganut prinsip kedaulatan tradisional dan non intervensi secara kuat. Implementasi ACTIP yang membutuhkan kolaborasi yang dekat akan sulit diimplementasikan apabila anggota ASEAN masih memegang prinsip kedaulatan nasional tradisonal secara absolut. Komitmen kerjasama regional ini membutuhkan selaras dengan agenda nasional masing-masing anggota ASEAN. Agenda regional yang tidak sesuai atau diluar kapasitas negara dipastikan akan sulit terealisir.
Diantara anggota ASEAN masih terdapat ketidak sepakatan mendasar dalam mengidentifikasi kasus terkait perdagangan manusia ini. Misalnya perbedaan dalam menjustifikasi kasus sebagai perdagangan (trafficking) atau penyelundupan (smuggling). Indonesia dan Filipina mengalami konflik yang berkepanjangan terkait kasus Mary Jane Fiesta Veloso dari Filipia yang telah divonis hukuman mati oleh pemerintah Indonesia karena terbukti menyelundupkan heroin. Namun menurut masyarakat Filipina, wanita tersebut adalah lebih sebagai korban dari perdagangan manusia.
Contoh kasus lain adalah tuduhan sebagai pelaku pembunuhan berencana oleh pemerintah Malaysia terhadap saudara tiri pemimpin Korea Utara, Kim Jong-Nam, yang dilakukan oleh Siti Aisyah, warga negara Indonesia, bersama Duan Thi Huong, warga Vietnam. Bagi Indonesia dan Vietnam, kasus tersebut dilihat sebagai perdagangan manusia, karena keduanya telah ditipu oleh dalang utama dibalik pembunuhan tersebut yang berkesempatan melarikan diri dari Malaysia. Meski akhirnya pada akhir tahun 2019 kedua wanita tersebut dibebaskan, namun proses panjang dalam menilai kasus yang dimulai sejak awal tahun 2017 membuktikan tidak adanya persepsi yagn sama dalam meninjau kasus. Dalam proses hukum juga terlihat tidak ada koordinasi antara pihak Indonesia/Vietnam dan Malaysia. Ketidak selarasan ini tidak saja menimbulkan konflik antar negara juga merugikan bagi perempuan yang menjadi korban yang seharusnya mendapat perlindungan yang adil. Kedua kasus ini menunjukkan dengan jelas betapa masih rentan nya posisi perempuan di Asia Tenggara menjadi korban perdagangan manusia. Kerjasama ASEAN dalam memerangi perdagangan manusia yang digaungkan dalam kenyataan belum mampu melindungi perempuan secara signifikan.
Penulis: Sartika Soesilowati Link terkait tulisan di atas: https://www.iratde.com/index.php/jtde/article/view/812