Kewenangan Praperadilan dan Gugurnya Permohonan Praperadilan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh pinter politik

Hukum acara pidana justru lahir sebagai wujud pengejawantahan  Pasal 28 I  ayat (5) UUD Negara Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disingkat UUD NRI 1945) yang menjamin dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis sehingga ketentuan – ketentuan dalam hukum acara pidana tersebut senantiasa harus sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Jikalau dipandang perlu ada pembatasan terhadap hak asasi  manusia, dalam Pasal 28 J ayat (2) UUD NRI 1945 telah menegaskan bahwa pembatasan tersebut semata- mata dilakukan untuk menjamin pengakuan serta penghormatan  atas hak dan kebebasan orang lain.

Hukum pidana formil (Hukum Acara Pidana) Sepanjang sejarah hukum di Indonesia, yang pernah diberlakukan hanya ada 2 (dua), yaitu : HIR (Het Herziene Inlandsch Reglement) dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau biasa disebut dengan istilah “KUHAP”. Ketika HIR (Het Herziene Inlandsch Reglement) masih menjadi hukum acara pidana di Indonesia, nuansa penegakan hukum terasa sarat dengan pelanggaran-pelanggaran terhadap nilai-nilai HAM. Tindakan penangkapan maupun penahanan oleh aparatur penegak hukum, dilakukan tanpa didasarkan procedural yang ketat dan tidak ada batasan waktunya, tersangka atau terdakwa dipandang sebagai obyek pemeriksaan (inkuisitur). Sebagai produk hasil buah karya bangsa Indonesia, KUHAP  telah memberikan pencerahan maupun kepastian akan jaminan, pengakuan serta perlindungan terhadap HAM. Segala bentuk penindasan terhadap hak-hak tersangka serta merta dengan sendirinya menjadi berkurang. Asas praduga tak bersalah (Presumption of Innocence) yang awalnya hanya sebagai slogan semata, pada akhirnya dapat berfungsi kembali sebagai pilar pelindung bagi tersangka maupun terdakwa. Tidak lagi memandang tersangka atau terdakwa sebagai obyek pemeriksaan (inkuisitur), melainkan sebagai subyek pemeriksaan (akusatur).

Dalam praktik penegakan hukum ada 3 (tiga) penafsiran yang lahir dari frasa “sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri” yakni pertama gugurnya permohonan praperadilan terhitung sejak berkas perkara dilimpahkan ke Pengadilan Negeri oleh penuntut umum. Kedua, praperadilan gugur sejak persidangan pertama atas perkara dimaksud telah dimulai, dan ketiga adalah gugurnya praperadilan terhitung sejak penuntut umum membacakan surat dakwaannya dalam sidang yang terbuka untuk umum. Berbekal ketidak pastian hukum tersebut Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP telah diajukan yudicial review ke Mahkamah Konstitusi dan telah mendapatkan putusan sebagaimana termuat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi.

Adapun ratio decidendi putusan tersebut adalah, pada prinsipnya dalam proses persidangan perkara pidana, pemeriksaan terhadap gugatan praperadilan dengan pemeriksaan pokok perkara tidak dapat dilaksanakan secara bersamaan. Namun demikian, hendaklah diingat bahwa terhadap Pasal 77 UU 8/1981, Mahkamah telah menyatakan pendiriannya berkenaan dengan ruang lingkup praperadilan sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Nomor 21/PUU- XII/2014, tertanggal 28 April 2015, yang menyatakan bahwa praperadilan mencakup pula sah atau tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan sebagai objeknya. Bahwa karakteristik dari objek pemeriksaan sebagaimana dimaksud Pasal 77 tersebut merupakan persoalan yang seharusnya telah diselesaikan dan diputuskan sebelum masuk pada pemeriksaan terhadap pokok perkara, sehingga proses tersebut disebut sebagai proses pemeriksaan sebelum peradilan, atau pra- peradilan. Hukum Acara Pidana menjamin hak setiap tersangka untuk mengajukan praperadilan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 79 dan Pasal 80 UU 8/1981. 

Dengan demikian, menurut saya adalah hal yang logis bahwa proses praperadilan sudah semestinya berakhir ketika pemeriksaan telah memasuki pokok perkara atau telah memasuki tahapan persidangan. Selain itu, ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf  d UU 8/1981   a quo juga dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum agar tidak terjadi dualisme hasil pemeriksaan yaitu antara pemeriksaan yang sah yang dilakukan oleh penyidik dan penuntut umum dengan pemeriksaan yang diduga  adanya tindak pidana yang dilakukan oleh pemohon sehingga diajukan praperadilan

Penulis : Prof Dr, Nur Basuki Minarno, S.H.,M.Hum.

Informasi terperinci dari penelitian ini dapat dilihat dalam tulisan Anda di:
https://e-journal.unair.ac.id/YDK/article/view/7551/8485

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).