Instrumen hukum kepailitan, sejatinya adalah sarana untuk melikuidasi asset debitor untuk membayar utang-utang debitor tersebut terhadap para kreditornya. Namun dalam praktiknya, seringkali instrument kepailitan ini disalahgunakan oleh kreditor terhadap debitornya itu sendiri. Padahal akibat hukum kepailitan bagi debitor itu sangat mematikan, khususnya mematikan kewengan debitor dalam mengurus dan memiliki harta kekayaannya sendiri. Adanya status pailit bagi debitor berakibat hukum kehilangan kewenagngannya untuk mengurus seluruh harta kekayaan, bahkan akibat hukum ini berlaku serta merta ketika putusan pailit diucapkan oleh hakim, meskipun masih ada upaya hukum terhadap putusan pailit tersebut. Kewenangan pengurusan dan pemberesan harta debitor yang pailit tersebut beralih pada kurator dengan pengawasan dari hakim pengawas. Sedemikian dahsyatnya akibat hukum kepailitan tersebut, sehingga untuk memutus menyatakan pailit, hakim mesti harus berhati-hati, terutama jika terdapat indikasi adanya penyalahgunaan permohonan pailit oleh kreditor terhadap debitornya tersebut.
Metode penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif. Penelitian ini dimaksudkan untuk melakukan pengkajian teoritik-normatif mengenai prinsip-prinsip, norma/ pengaturan, dan praktik di peradilan hukum kepailitan di Indonesia. Adapun tahap-tahap dan prosedur yang dilalui dalam metode penelitian normatif dalam penelitian ini adalah penelusuran atau inventarisasi bahan hukum baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan pengadilan, sedangkan bahan hukum sekunder berupa textbook dibidang kepailitan. Selanjutnya mengadakan pengolahan terhadap bahan-bahan hukum. Setelah bahan-bahan hukum tersebut diolah, kemudian dilakukan analisis. Sebagai alat bantu untuk menganalisis penelitian ini digunakan tiga pendekatan (approach) yaitu statute approach, conceptual approach, case approach.
Penyalahgunaan Instrumen Hukum Kepailitan
Hukum kepailitan di Indonesia memiliki karakteristik khusus, yang semestinya diketahui oleh para investor yang akan menanamkan modalnya di Indonesia. Hal ini perlu diketahui oleh para investor agar tidak menjadi korban penyalahgunaan instrumen hukum kepailitan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab yang akan mengambil keuntungan dengan merugikan para investor. Instrumen hukum kepailitan sejatinya merupakan suatu jalan keluar yang bersifat komersial untuk keluar dari persoalan utang piutang yang menghimpit seorang debitor, dimana debitor tersebut sudah tidak mempunyai kemampuan lagi untuk membayar utang-utang tersebut kepada para kreditornya.
Dindonesia, kepailitan ditujukan bukan hanya untuk perusahaan yang sedang mengalami kesulitan keuangan sehingga tidak mampu membayar utang-utangnya, melainkan kepailitan di Indonesia juga bisa digunakan untuk alat menagih utang yang tidak dilatarbelakangi oleh kesulitan keuangan perusahaan. Peter J.M. Declercq (2002, 63) menyatakan bahwa ” A bankruptcy petition has to state facts and circumstances that constitute prima facie evidence that the debtor has ceased to pay its debts. This is considered to be the case if there are at least two creditors, one of who, has a claim whis is due and payable and which the debtor cannot pay, refuses to pay, or simply does not pay. ”
Dalam sistem hukum kepailitan yang berlaku di banyak negara didunia, beberapa prinsip yang lazim dianut dalam hukum kepailitan adalah prinsip paritas creditorium (kesetaraan para kreditor), prinsip pari passu pro rata parte (equally footing and equal managed without preference), structured creditor principle, debt collection and pooling principle, debt forgivness principle, prinsip universal, prinsip territorial, dan prinsip commercial exit from financial distres. Prinsip-prinsip umum yang ada di dalam rezim hukum kepailitan di dunia tersebut, dalam UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ada yang dinormakan didalamnya, ada yang tidak dinormakan, serta ada yang dinormakan tapi ambiguitas.
Dalam praktik di peradilan, terjadi disparitas dalam penerapan prinsip dan norma yang diatur dalam UU Kepailitan Indonesia, sehingga menyebabkan adanya ketidakpastian hukum, yang pada gilirannya akan membuat calon investor yang akan menanamkan modal investasinya menjadi ragu-ragu, dan ini jelas merugikan kepentingan perekonomian Indonesia. Dari hal tersebut diatas, perlu dikaji akar masalah kepailitan perusahaan besar terutama perusahaan penanaman modal asing. Akar masalah dikaji dari penormaan prinsip-prinsip umum kepailitan dalam UU Kepailitan Indonesia. Disamping itu perlu dikaji menganai putusan-putusan pengadilan baik yang sudah tepat maupun putusan yang salah.
Prinsip-prinsip umum hukum kepailitan yang dinormakan dalam hukum kepailitan di Indonesia adalah prinsip paritas creditorium, prinsip paripassu prorata parte, prinsip structured creditors, prinsip debt collection, prinsip universal, dan prinsip teritorial. Sedangkan prinsip yang tidak dinormakan dalam hukum kepailitan di Indonesia adalah prinsip debt forgiveness, prinsip commercial exit from financial distress. Adapun prinsip debt pooling dianut secara ambiguitas dalam hukum kepailitan.
Para investor perlu mendapatkan perlindungan hukum yang memadahi terhadap penyalahgunaan kepailitan tersebut. Dalam praktinya, terdapat beberapa kasus penyalahgunaan kepailitan yang sangat merugikan kepentingan para investor, seperti dalam kasus kepailitan. PT. Asuransi Jiwa Manulif, kasus kepailitan Prudential Life Assurance, dan kasus kepailitan PT. Telekomunikasi Seluler Indonesia. Meskipun putusan-putusan kepailitan yang lain yang sudah tepat jauh lebih banyak, akan tetapi meski hanya beberapa kasus besar yang terjadi penyelahgunaan kepailitan dapat mengancam kepastian hukum bagi para investor yang menanamkan modalnya di Indonesia.
Penulis : Dr. M. Hadi Shubhan, SH, MH, CN
Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di: https://www.ijicc.net/images/vol10iss6/10622_Shubhan_2019_E_R.pdf
M. Hadi Shubhan (2019), Misuse of Bankruptcy Petitions by Creditors: The Case of Indonesia, International Journal of Innovation, Creativity and Change, Volume 10, Issue 6.