Tindak Kekerasan pada Anak yang Berkonflik dengan Hukum

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Sukabumi Update

Keterlibatan anak dalam berbagai kasus pelanggaran hukum pada beberapa tahun terakhir,  menunjukkan adanya peningkatan. Berbagai media massa melaporkan anak tidak hanya menjadi korban atau sasaran tindak kejahatan, tetapi tidak sedikit anak juga menjadi pelaku tindak kejahatan.Memproses anak yang berkonflik dengan hukum sesuai ketentuan yang berlaku,  kemudian mengirimnya ke penjara anak, dari segi legal-punitif merupakan langkah yang tidak terhindarkan. Akan tetapi, pertanyaan yang kemudian muncul  apakah dengan mengirim anak ke penjara lantas bisa dipastikan masa depan anak-anak itu akan lebih baik? Pertanyaan ini sangat menarik untuk dikaji lebih dalam, sebab dengan memasukkan anak ke penjara bergaul  dengan sesama anak yang menjadi pelaku tindak kejahatan lain, ditengarai justru menjadi “sekolah kedua” yang dapat menyebabkan anak makin terjerumus ke dalam dunia kriminal daripada menjadi tempat yang menyadarkan anak untuk lepas dari pengalaman kelam di masa lalunya.

Artikel ini merupakan bagian dari studi tentang “Efektifvitas Pembinaan Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum”, Artikel ini  mengkaji tentang, 1) Diskursus   yang berkembang di lingkungan penjara anak, dan siapa pihak yang dominan di balik perkembangan diskursus itu menurut konstruksi anak yang berkonflik dengan hukum; 2) Bentuk-bentuk tindakan child abuse   yang dialami anak yang berkonflik dengan hukum selama menjalani kehidupan di penjara anak, termasuk di sini siapa pihak yang menjadi pelaku child abuse kepada anak selama di penjara anak

Anak-anak yang menjalani hukuman di penjara, kode etik yang berlaku di lingkungan penjara sangat khas dan tumbuh dari kepentingan anak-anak itu sendiri. Nilai yang berkembang dan dianut di lingkungan penjara, yang paling utama adalah kesetiakawanan  dan tidak boleh seseorang menjadi pengkhianat. Dalam lingkungan yang tertutup seperti penjara, anak-anak dituntut untuk menjaga solidaritas kelompoknya  dan tidak mengkhianati satu dengan yang lain, karena menyadari bahwa mereka adalah bagian dari anak-anak yang nakal, bahkan terlibat dalam tindakan kriminal. Di kalangan anak-anak sesama penghuni penjara, mereka dituntut untuk selalu setia kawan. Bahkan apabila ada anak yang mencoba berkhianat, seperti melaporkan ke sipir tentang hal-hal tertentu, maka anak yang bersangkutan  akan dikucilkan dan  bukan tidak mungkin menjadi sasaran tindakan bullying atau  tindak kekerasan dari sesamanya.

Selain itu ada nilai  yang juga dijunjung tinggi oleh sebagian besar anak yang berkonflik dengan hukum dalam menghormati napi anak yang lebih senior. Studi ini menemukan, sebagian besar napi mengakui dan menerima bahwa napi senior harus dihormati. Anak-anak yang lebih senior dan apalagi telah lebih dulu tinggal di penjara, dianggap telah memiliki pengalaman dan pengetahuan yang lebih, sehingga mempunyai kekuasaan yang lebih tinggi.

Anak-anak sudah menyadari untuk  tidak mencari gara-gara dengan sesama penghuni penjara agar tidak menjadi sasaran pengucilan dan tindak kekerasan oleh napi anak lain. Dalam situasi  normal, anak-anak selalu berusaha menghormati napi anak yang sudah senior, tetapi apabila  ada napi anak senior yang berbuat ulah bukan berarti mereka yang yunior akan diam dan pasrah. Kode etik yang berlaku di kalangan anak yang berkonflik dengan hukum adalah, mereka jual, kita beli. Artinya, jika memang ada anak lain yang mencari gara-gara atau melakukan tindak kekerasan, maka mereka juga tak segan untuk melawan. Tidak jarang anak-anak di penjara mengaku sering melayani dan berani melawan ketika ada anak lain yang berusaha mencari gara-gara dengan mereka. Meskipun  memperoleh sanksi ketika  melanggar kode etik yang berlaku, seperti dicemooh, dicaci,  bahkan  tidak jarang anak-anak yang dinilai telah melanggar kode etik, akan dihajar agar tidak mengulang kesalahan yang sama. Setia kawan adalah prinsip yang dijunjung tinggi di kalangan sesama anak yang tinggal di penjara. Di tengah lingkungan penjara yang tertutup, maka anak tidak dimungkinkan untuk meminta bantuan dari luar. Jadi, sebagai sebuah institusi yang tertutup, lingkungan penjara memang memiliki kode etik tersendiri yang dipertahankan dan dijunjung tinggi anak-anak yang tinggal di sana. 

Kekerasan terhadap anak (child abuse) –termasuk pada anak yang berkonflik dengan hukum— adalah tindakan pelukaan fisik, mental, atau seksual yang umumnya dilakukan oleh orang-orang dewasa, namun tidak jarang pula dilakukan oleh sesama anak yang lebih senior.  Di lingkungan penjara, meskipun para sipir telah mengatur dan mengawasi  anak yang tinggal  agar tidak terlibat dalam tindak kekerasan, tetapi tindak kekerasan itu tetap saja terjadi. Anak-anak baru atau anak-anak tertentu yang dipandang dapat dibullying, sangat rentan menjadi korban tindak kekerasan. Di lingkungan penjara, sudah menjadi kebiasaan jika terjadi ritual untuk anak-anak baru yang diplonco oleh anak-anak napi yang lebih senior. Ritual ini adalah bagian dari proses untuk mendemonstrasikan siapa yang harus disegani dan ditakuti di lingkungan penjara –selain sipir atau petugas penjara.

Studi ini menemukan separuh lebih anak yang tinggal di penjara pernah mengalami tindak kekerasan, sebagian mengaku sering sering menjadi korban tindak kekerasan  Di lingkungan penjara, tindak kekerasan dianggap sebagai makanan keseharian bagi anak-anak yang berkonflik dengan hukum. Sekilas anak-anak yang tinggal di pejara terlihat rukun ketika ada petugas, tetapi dalam beberapa kesempatan sejumlah informan mengaku sering  diintimidasi dan dan menjadi korban tindak kekerasan. Anak-anak yang lebih senior biasanya merasa memiliki kekuasaan untuk menekan temannya yang lain, untuk mendemonstrasikan superioritas mereka di hadapan anak-anak yang lain terutama yang anak-anak yang lebih muda dan baru masuk. Kultur seperti  jagoan adalah subkultur yang lazim berkembang di lingkungan penjara anak.Selain sesama anak yang berkonflik dengan hukum, studi ini juga menemukan pihak yang menjadi pelaku tindak kekerasan tidak jarang adalah para sipir atau petugas terutama    ketika  dinilai melanggar aturan atau bertingkah keliru, maka sipir akan memberikan sanksi/hukuman.  

Di lingkungan anak-anak yang berkonflik dengan hukum,  berbagai bentuk tindak kekerasan yang terjadi, mulai dari tindak kekerasan verbal hingga tindak pemukulan dan bahkan pelecehan seksual. Studi ini menemukan   tindak kekerasan yang aling umum mereka alami adalah kekerasan fisik (dipukul, ditendang, disuruh bekerja, bullying),   Subkulktur anak-anak yang berkonflik dengan hukum umumnya memang cenderung keras, dan bahkan ada indikasi kekerasan telah menjadi budaya tersendiri.

Yang memperihatinkan, studi ini menemukan meskipun jumlahnya kecil tapi ada yang mengaku terkadang memperoleh perlakuan pelecehan seksual, dan bahkan ada 4% responden yang mengaku sering dilecehkan secara seksual, berupa paksaan untuk melakukan onani atau mereka menjadi korban sodomi dari anak-anak tertentu.  Pihak yang menjadi pelaku tindak kekerasan, selain sesama teman, napi senior, tetapi tak jarang juga para sipir atau petugas penjara. Studi menyimpulkan bahwaanak-anak yang menjalani hukuman di penjara, mengembangkan wacana tentang kode etik yang berlaku di lingkungan penjara sangat khas dan tumbuh dari kepentingan anak-anak itu sendiri. Nilai yang berkembang dan ditegakkan di lingkungan penjara, yang paling utama adalah kesetiakawanan   dan tidak boleh seseorang menjadi pengkhianat. Wacana tersebut muncul karena anak-anak   sesama penghuni penjara yang lebih senior atau yang sudah lebih lama tinggal penjara.

Studi ini jug menemukan   anak yang tinggal di penjara pernah mengalami tindak kekerasan.   Bentuk  kekerasan yang dialami anak yang berkonflik dengan hukum, mulai dari tindak kekerasan verbal (dihina, dicaci, dilecehkan, diancam), kekersan ekonomi seperti dipalak  hingga tindak kekerasan fisik (dipukul, dibully) bahkan pelecehan seksual.  Tindak kekerasan yang dialami anak-anak yang tinggal di penjara adalah  para nara pidana senior dan  sesama teman anak-anak lain yang berkonflik dengan hukum.  

Penulis: Sutinah
Informasi lebih lengkap tentang penelitian ini  dapat dilihat pada: Sutinah Sutinah, Bagong Suyanto dan  Ratna Azis Prasetyo. Acts of Violence and Adaptation Mechanism of Children in Conflict with the Law in Juvenile Detention Center.

Journal of Talent Development & Excellence  1910  Vol.12, No.1, 2020, 1910-1925
© 2020 International Research Association for Talent Development and Excellence  http://www.iratde.com

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).