Artikel ini merupakan bagian dari hasil studi lanjutan tentang Penagangan Tindak kekerasan dan Perlindungan Anak Terlantar Berbasis Community Social System anak terlantar di Panti Asuhan, studi ini bermaksud mengkaji berbagai bentuk tindak kekerasan yang dialami anak-anak terlantar di masyarakat, dan bagaimana peran lingkungan sosial di sekitar dalam memberikan perlindungan dan penanganan terhadap anak terlantar yang menjadi korban tindak kekerasan, serta kendala yang dihadapi kelompok sekunder, community based organization, kelompok sosial dan keagamaan di masyarakat dalam mencegah dan menangani anak terlantar yang menjadi korban tindak kekerasan. Studi ini penting dilakukan, sebab keberadaan anak terlantar dari hari ke hari disinyalir terus bertambah, dan membutuhkan antisipasi yang sifatnya segera.
Dalam kenyataan anak-anak terlantar yang tinggal di luar panti juga beresiko mengalami dan menjadi korban tindak kekerasan. Anak-anak miskin, anak yatim, anak yatim-piatu, dan sejenisnya adalah kelompok anak-anak di masyarakat yang rawan diperlakukan salah. Tidak mustahil, selain hak-hak mereka tidak dipenuhi, hak-hak anak terlantar ini juga dilanggar karena berbagai alasan. Di berbagai komunitas, tidak sedikit anak-anak terlantar dilaporkan mengalami dan menjadi korban tindak kekerasan. Sebagian anak terlantar menjadi korban tindak kekerasan ekonomi, menjadi korban verbal abuse atau menjadi korban tindak kekerasan fisik dan psikis dari orang dewasa di sekitarnya karena tidak adanya perlindungan yang memadai.
Studi yang dilakukan di Jawa Timur ini menemukan anak-anak terlantar yang menjadi sasaran dalam penelitian ini mengemukakan bahwa pernah mengalami tindak kekerasan selama tinggal di rumah, meskipun dengan intensitas yang berbeda. Tindak kekerasan yang dialami anak-anak selama tinggal di rumah itu dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan seperti ayah, ibu, kekerasan yag dilakukan oleh kakak/saudara, kakek, nenek, paman/bibi, orang tua asuh dan sebagainya. Bahkan setelah orang tuanya meninggal kondisi kehidupan sehari-harinya makin buruk.
Anak-anak yang ditinggal orang tuanya karena meninggal, bukan saja berisiko ditelantarkan, tetapi sebagian dari mereka juga sering menjadi korban tindak kekerasan. Di masyarakat Indonesia, sudah tidak asing lagi bahwa sebagian anak-anak rawan diperlakukan salah. Di sini kurangnya pemahaman orang tua tentang hak-hak dan perlindungan anak, sering kemudian mengakibatkan tindak kekerasan terhadap anak (child abuse) justru dinilai tidak bermasalah. Di kalangan masyarakat perdesaan, tindakan menghajar anak, memukul dengan kayu, menyabet dengan sapu lidi, dan lain-lain seringkali masih dianggap sebagai bagian dari mekanisme untuk mensosialisisi anak-anaknya agar disiplin , dan secara cultural dibenarkan.
Studi ini menemukan bahwa anak-anak terlantar yang menjadi responden sering mengalami kekerasan fisik (dipukul, ditendang, dijewer) bahkan pemukulan dilakukan oleh orang tuanya, sering mengalami kekerasan psikis (dimaki dengan kata-kata kasar, diancam, dibully, dikunci dalam kamar tertutup, dikurangi jatah makan. Meski pun tidak sebanyak kasus kekerasan fisik dan psikis, studi ini juga menemukan ada anak terlantar yang mengalami pelecehan seksual, dan bahkan kekerasan ekonomi (dipaksa bekerja).
Dukungan Sosial
Anak-anak terlantar yang kehilangan orang tuanya, biasanya membutuhkan dukungan social dari lingkungan di sekitarnya untuk dapt melangsungkan kehidupannya. Dukungan social ini dibutuhkan terutama pada keluarga-keluarga miskin untuk mengatasi tekanan kebutuhan hidup dan kebutuhan social yang lain sangat terbatas. Bisa dibayangkan, apa yang bisa dilakukan oleh orang tua anak terlantar yang tiba-tiba kehilangan sumber mata pencaharian utamanya karena bapaknya meninggal dunia?
Di samping menggantungkan pada dukungan kerabat, dukungan dari lingkungan social di sekitarnya sangat fungsional. Bagi anak terlantar sendiri, keberadaan lembaga social dan tokoh-tokoh masyarakat di sekitarnya umumnya juga bermanfaat. Seperti sudah diutarakan di atas, bahwa sebagian anak terlantar terakadang diperlakukan salah, karena orang tua asuhnya atau salah satu orang tuanya tidak lagi kuat menanggung tekanan kebutuhan hidup. Pada saat orang tuanya sedang galau, dan batas kesabarannya mulai berkurang, maka anak-anak terlantar itulah yang menjadi korban. Menghadapi ancaman dan tindak kekerasan dari orang dewasa di sekitarnya itulah, maka anak-anak terlantar berupaya agar tidak mengalami tindak kekerasan ulang dan tidak makin terpuruk. Upaya yang paling sering dilakukan anak-anak terlantar adalah dengan bersikap pasrah, dan tidak melawan atas tindakan kekerasan yang mereka alami, diam dan tidak membalas meski mereka menjadi korban tindak kekerasan.
Di samping upaya yang dilakukan untuk menghindari dan menyiasati terjadinya tindak kekerasan, studi ini juga menemukan anak-anak terlantar biasanya mengadu pada pihak-pihak tertentu yang dianggap memberikan perlindungan. Menurut anak-anak terlantar yang diteliti tempat yang dirasakan tepat untuk mengadu umumnya adalah Ketua RT/RW, tokoh masyarakat setempat atau mengadu ke Lembaga Swadaya Masyarakat Anak (LSM), ke gurunya di sekolah, mengadu ke kerabat. Dalam situasi dan kondisi seperti ini maka sangat diperlukan adanya dukungan social (social support) dari keluarga, tetangga, masyarakat termasuk kelembagaan social-keagamaan yang ada.
Temuan tersebut menunjukkan bahwa dukungan social yang diberikan oleh lembaga social-keagamaan yang berbasis masyarakat memiliki perang penting untuk memenuhi kebutuhan fisik, pendidikan dan bahkan kebutuhan spiritual bagi anak-anak terlantar, selama ini tidak pernah diperoleh dari orang tuanya. Adanya dukungan social dari lembaga social-keagamaan menjadikan anak terlantar menjadi lebih bersemangat dan berdaya.
Studi ini menyimpulkan bahwa anak-anak terlantar yang menjadi sasaran peneoyian ini sebagian besar merupakan anak yatim yaitu anak yang masih memiliki salah satu orang tua, ayah atau ibu. Sebagian yang lain mengaku merupakan anak yatim piatu yang sudah tidak memiliki kedua orang tuanya. Anak-anak yang mendadak kehilangan salah satu atau kedua orangnya, menghadapi berbagai tekanan kehidupan –termasuk menjadi korban tindak kekerasan oleh orang dewasa di sekitarnya. Bentuk kekerasan yang dialami anak-anak terlantar ini adalah kekerasan fisik seperti dipukul, ditendang, dijewer. Kekerasan psikis seperti dimaki dengan kata-kata kasar, diancam, di bully. Selain itu ada pelecehan seksual, dan kekerasan ekonomi yaitu anak-anak dipaksa bekerja.
Kehadiran lembaga social-keagamaan yang memiliki peran membantu anak terlantar dapat meringankan beban keluarga kurang mampu sangat diharapkan. Sebagian besar anak terlantar mengetahui bahwa lembaga social-keagamaan yang ada di daerahnya ada program pemberian bantuan berupa, pemberian beasiswa, bantuan pakaian,makanan, peralatan sekolah, les tambahan dan bimbingan pengajian. Bantuan ini, bagi anak terlantar diakui sangat fungsional, terutama jika anak-anak terlantar itu tinggal bersama orang tua tunggal atau orang lain yang mengasuhnya itu secara ekonomi rentan, sebab bantuan tersebut dapat meringankan beban mereka.
Penulis: Sutinah
Informasi lebih lengkap tentang penelitian ini dapat dilihat pada: Sutinah . Dealing With Violence against Neglected Children through Community-Based Support Systems in East Java, Indonesia
International Journal of Innovation, Creativity and Change. Volume 13, Issue 3, 2020 www.ijicc.net