Kartilago artikular merupakan kartilago hialin yang melapisi permukaan dari sendi diartrodial. Kartilago ini merupakan jaringan yang tidak memiliki pembuluh darah dan limfa, dan bersifat anisotropik. Karena tidak adanya pembuluh darah, maka apabila terjadi cedera, tidak ada sel yang dapat berdiferensiasi untuk memperbaiki diri kartilago tersebut. Apabila cederanya cukup dalam hingga mengenai tulang subkondral yang memiliki pembuluh darah, maka akan terbentuk bekuan darah yang pada akhirnya akan membentuk jaringan ikat. Jaringan ikat memiliki sifat biomekanik yang berbeda dengan kartilago hialin, sehingga akan mengakibatkan kerusakan kartilago yang lebih lanjut dan mempengaruhi performa dan aktivitas sehari-hari dari pasien.
Berbagai macam cara telah dikembangkan untuk mengatasi adanya cedera pada kartilago, dengan tujuan untuk mendapatkan jaringan yang memiliki sifat biomekanik yang terbaik. Macam modalitas terapi yang ada saat ini yaitu terapi berbasis sel (cth: Autologous Chondrocyte Implantation/ACI) yang baik digunakan untuk cedera yang besar (≥4cm2), dan terapi stimulasi sumsum tulang (cth: mikrofraktur) yang baik untuk cedera yang kecil (< 4cm2). Untuk cedera yang besar, kelemahan dari teknik ACI adalah dibutuhkan dua kali tindakan operasi.
Pada penelitian ini, kami mengembangkan suatu scaffold Biodegradable Porous Sponge Cartilage (BPSC) untuk meningkatkan kualitas regenerasi pada cedera/defek pada kartilago agar menjadi suatu jaringan yang menyerupai kartilago hialin asli (hyaline-like cartilage). Scaffold yang kami kembangkan terbuat dari bahan baku yang mudah didapatkan dan berasal dari bovine. Scaffold tersebut pada penelitian ini dikombinasikan dengan terapi stimulasi bone marrow (microfracture), stem cell dari jaringan lemak (Adipose-Derived Mesenchymal Stem Cells/ASCs), atau sekretom. Scaffold diharapkan dapat menjadi housing bagi stem cell dan matriks ekstraselular yang dihasilkannya. Bahan yang digunakan pada terapi ini dapat disiapkan sebelum dilakukannya operasi, sehingga dengan studi translasional ini diharapkan pada manusia dapat juga dilakukan, dan hanya memerlukan satu kali operasi saja.
Pada penelitian ini, digunakan model cedera pada kelinci New Zealand White Rabbit usia 8-12 bulan, dan berat 2400-3200 gram, dimana dilakukan perlukaan pada permukaan kartilago lutut pada sisi tulang paha hingga sebdalam subkondral, dan seluas 4.5 mm2 (setara dengan 6 cm2 pada manusia). Kelinci dibagi dalam 4 kelompok perlakuan dimana setiap kelompok terdapat 6 kelinci. Kelompok 1 (K) hanya dilakukan perlukaan saja, kelompok 2 (S) mendapatkan scaffold saja yang diberikan pada model cedera, kelompok 3 (SS) diberikan scaffold dan ASCs, serta kelompok 4 (SS) dimana diberikan scaffold dan sekretom. Setelah dilakukan tindakan, kelinci dilakukan perawatan di dalam kandang pada Laboratorium Stem Cell Research & Development Center UNAIR selama 12 minggu. Setelah 12 minggu, kelinci diterminasi, dan dilakukan evaluasi secara makroskopis dan histologis pada lutut masing-masing kelinci pada masing-masing kelompok. Penilaian makroskopis dilakukan dengan mengunakan skor ICRS (International Cartilage Research Society) dan skor OAS (Oswestry Arthroscopy Score). Sedangkan pada penilaian mikroskopis, dilakukan pengecatan dengan menggunakan Hematoxylin & Eosin (HE) dan Safranin-O, lalu masing-masing sampel dinilai menggunakan system penilaian O’Driscoll Simple Histological Scoring System.
Setelah dilakukan terminasi, dan dilakukan evaluasi, didapatkan bahwa untuk nilai pada kelompok kontrol memiliki nilai yang paling rendah dibandingkan kelompok perlakuan lainnya dan perbedaannya bermakna secara signifikan. Dengan kelompok SA, yaitu kelompok dimana diberikan scaffold dan ASCs pada defek memiliki nilai rerata yang paling baik dibandingkan dengan kelompok lainnya., diikuti dengan kelompok SS, lalu kelompok S, dan kelompok K pada setiap penilaian.
Hasil yang didapatkan sesuai dengan penelitian-penelitian lain yang sebelumnya telah dilakukan, dan juga pernyataan bahwa dengan pemberian scaffold, maka akan memberikan hasil yanglebih baik daripada hanya melakukan microfracture saja, karena dengan adanya scaffold, dapat menjadi housing untuk stem cell dari bone marrow, dan juga menangkap matriks ekstraseluler yang dihasilkan. Apabila dengan diberikan ASCs yang memiliki kemampuan diferensiasi kondrogenik yang baik dapat memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan hanya scaffold saja. Pada penelitian ini juga tampak potensi dari terapi dengan sekretom yang merupakan hasil metabolit dari stem cell itu sendiri, walaupun nilai dari kelompok yang menggunakan scaffold dan ASCs memberikan nilai yang lebih baik. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa penggunaan scaffold dan stem cell, dapat memiliki potensi sebagai alternatif terapi yang memberikan hasil yang baik untuk penanganan cedera pada kartilago, begitu juga penggunaan sekretom. Sehingga alangkah baiknya apabila penelitian ini dapat dilanjutkan sebagai suatu clinical trial pada manusia.
Penulis: Dr. Dwikora Novembri Utomo, dr., Sp.OT(K)
Dep. Orthopaedi dan Traumatologi, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
Link terkait tulisan di atas: https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/0885328220934938