UNAIR NEWS – Jawa Timur (Jatim) tercatat sebagai provinsi dengan angka kasus positif virus corona (Covid-19) tertinggi di Indonesia. Pada hari Selasa, 30 Juni 2020 dilaporkan bahwa total pasien positif Covid-19 Jatim mencapai 12.136 orang yang kemudian disusul oleh DKI Jakarta dengan jumlah 11.424 pasien. Berdasarkan data tersebut, kota Surabaya menyumbang angka paling tinggi di antara kota Jatim lainnya.
Melihat hal itu, salah satu dosen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Airlangga (UNAIR), Drs. Doddy Sumbodo Singgih, M.Si., menyatakan bahwa karakteristik masyarakat Surabaya yang identik dengan ‘bonek’ menjadi salah satu faktor penyebab melonjaknya jumlah positif Covid-19. Menurutnya, karakter yang sudah terlanjur melekat itu membuat ‘arek-arek’ Surabaya berani nekat untuk melawan apa dan siapa saja, termasuk peraturan tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
“Arek Surabaya itu lebih terbuka, egaliter, bersolidaritas tinggi, dan wani nekat. Karakteristik itulah yang menyebabkan PSBB kemarin tidak berjalan dengan baik, karena masyarakatnya sendiri kurang disiplin dan tidak ada sanksi tegas dari pemerintah,” jelasnya.
Dosen mata kuliah Sistem Sosial dan Budaya Indonesia itu juga menilai bahwa protokol kesehatan pencegahan Covid-19 kontradiktif dengan karakter masyarakat Surabaya yang telah mentradisi dengan cangkrukan. Dia menjelaskan bahwa kegiatan cangkruk tidak menerapkan pembatasan-pembatasan sebagaimana yang telah diatur dalam protokol kesehatan, seperti memakai masker, tidak berkerumun, jaga jarak, dll. Dosen kelahiran Yogyakarta, 28 Mei 1959 itu menganggap bahwa beberapa pelanggaran itu menunjukkan kurangnya partisipasi masyarakat dalam melawan pandemi Covid-19.
Secara sosiologis, Drs. Doddy menuturkan bahwa salah satu cara dalam menghadapi pandemi ini dapat dilakukan melalui edukasi massif kepada masyarakat dengan menggunakan bahasa rakyat. Selain itu, dapat pula dilakukan pendekatan berbasis komunitas yang melibatkan seluruh komunitas, baik komunitas olahraga, hobi, pengusaha, dll untuk memutus rantai penyebaran Covid-19.
“Saya kira contoh sederhana seperti membuat jargon Ayo rek bareng-bareng ngelawan corona! yang disampaikan langsung oleh pimpinan RT atau RW ke lapangan untuk mengedukasi masyarakat cukup efektif,” terangnya.
Terakhir, Drs. Doddy berharap agar masyarakat dapat memanfaatkan realitas sosial budaya ‘bonek’ yang disebut social capital secara aktif untuk bersama-sama melawan Covid-19. “Jika dulu rakyat Surabaya menang melawan penjajahan dengan semangat kebersamaan, maka saya yakin semangat itu pun sekarang perlu digelorakan lagi untuk melawan Covid-19” pungkasnya.
Penulis: Nikmatus Sholikhah
Editor: Khefti Al Mawalia