UNAIR NEWS – Indonesia adalah negara kepulauan yang masih banyak daerahnya belum tersentuh pembangunan infrastruktur yang memadai dan maju. Sebutlah misalnya, tidak semua daerah memiliki akses internet dan listrik yang memadai.
Selama pandemi Covid-19 melanda Indonesia, salah satu aspek kehidupan yang terdampak adalah pendidikan. Pendidikan formal yang harusnya bersifat inklusif dan publik berubah menjadi sektor privat yang bersifat ekslusif untuk daerah 3T (Daerah Tertinggal, Terdepan dan Terluar) yang harus melaksanakan PJJ (Pendidikan Jarak Jauh).
Sebelum adanya PJJ, pendidikan layak untuk daerah 3T ataupun daerah pelosok terasa berat. Belakangan, pendidikan di kota-kota besar mulai menjalankan kelas daring dengan mudah. Kepemilikan gawai serta akses internet yang lancar sudah menjadi keuntungan dalam menjalankan PJJ.
Berbeda dengan kota-kota besar, menurut Abdul Rozak, founder Senyum Desa Indonesia, keadaan daerah pelosok sangat memprihatinkan. Seperti halnya di Kampong Tenggher, Desa Banjar, Kecamatan Kedungdung, Sampang Madura yang termasuk desa binaannya.
Zaki sapaan karibnya, menuturkan bahwa sistem pendidikan dengan daring sangat sulit untuk diimplementasikan di daerah terutama di pedesaan. Selama pandemi, keseharian anak-anak desa hanya bermain, tidak ada kegiatan belajar atau kegiatan lainnya.
“Mengaji mungkin berjalan seperti biasanya. Kalau di pedesaan seperti tidak ada pandemi. Tetapi memang yang terjadi adalah jadwalnya, pola kehidupannya yang berubah, polarisasi kehidupannya berubah. Tidak ada kegiatan belajar mengajar di sana, tidak ada mungkin ilmu yang masuk, yang biasanya didapat di sekolah,” ujar alumnus Hukum Universitas Airlangga tersebut.
Untuk mengatasinya, sambungnya, mengajak para relawan Senyum Desa untuk melakukan jemput bola. Kegiatan jemput bola dilakukan untuk memberikan pembelajaran kepada anak-anak desa, membantu mengangkat psikologisnya agar tidak stres dan lebih merasa senang, serta diselingi dengan bermain.
Bukan tanpa kendala dalam mengabdi, menurutnya, sarana sebagai media pembelajaran menjadi kendala utama. Hal tersebut karena media sebagai alat bantu anak-anak beraktifitas secara positif.
“Kalau seumpamanya kita, relawan mengajak untuk olahraga. Sarana prasarana olahraga seperti badminton, bola dan lain-lain. Kita tidak mumpuni untuk mengadakan pengadaan alat-alat olahraga. Jadi ya seadanya,” tuturnya.
Selain itu, kendala relawan adalah akses untuk masuk ke daerah mereka dengan infrastruktur jalan yang luar biasa. Para relawan membutuhkan waktu berjam-jam untuk masuk desa dengan kondisi jalan yang sangat parah untuk dijangkau.
Dengan keadaan seperti itu, dibutuhkan solusi terbaik yang dapat mengatasi permasalahan yang ada. Menurutnya, solusi terbaik yaitu dengan menggalakkan sarana pendidikan informal seperti gubuk-gubuk belajar, taman-taman baca diaktifkan kembali. Dengan relawan sebagai pengisi dari kegiatan tersebut sesuai protokol kesehatan yang ada.
“Dan juga menggalakkan dunia kerelawanan, relawan harus digerakkan ke desa-desa untuk menjemput mereka yang belum terjangkau oleh beberapa media pembelajaran oleh sarana prasarana yang ada. Dengan sinergi seluruh masyarakat dan pemerintah tentunya dengan menggerakan para pemuda sebagai agen of change sebagai bagian yang tidak terpisahkan untuk terus menjaga dan merawat calon penerus bangsa,” tutur alumni angkatan 2015 tersebut.
Zaki juga memberikan gambaran keadaan kondisi pelosok desa saat pandemi selain berkaitan dengan pendidikan. Dengan kondisi tidak semuanya pelosok desa dialiri aliran listrik, dan tidak semuanya dari warga desa memiliki penghasilan tetap. Pandemi membuat ekonomi warga terpukul yang berdampak pada anak-anak yang sedang berpendidikan.
“Jadi perputaran ekonomi berhenti, kegiatan berhenti, dan juga mungkin sangat terasa adalah geliat warga untuk hidup dengan gotong royong. Tetapi apa yang digotong royongkan saat semua roda dihentikan,” ujarnya.
Dengan begitu, Zaki, mengajak seluruh masyarakat terutama generasi muda untuk menjenguk pelosok desa sesuai protokol kesehatan, untuk melihat keadaan penerus bangsa.
“Wajah Indonesia yang sebenarnya bukan gemerlapnya ibukota atau metropolitannya Surabaya. Tetapi wajah Indonesia yang sebenarnya ialah senyuman, keramah tamahan, dan juga tawa masyarakat desa,” pungkasnya ditutup dengan salam. (*)
Penulis : Asthesia Dhea Cantika
Editor : Binti Q. Masruroh