UNAIR NEWS – Membangun bisnis kuliner dengan berbagai resikonya bukanlah hal yang mudah. Apalagi jika melakukannya di negara orang. Pengalaman tersebutlah yang telah dirasakan Yusuf Wibisono, pendiri Restoran Mas Surabaya yang berada di Kota Apeldoorn, Belanda. Dalam Bussiness Talk on Friday yang digelar Magister Manajemen Universitas Airlangga pada Jumat (9/6/2020), Yusuf membagikan banyak hal mengenai bagaimana memulai bisnis kuliner Indonesia di negeri kincir angin tersebut.
Yusuf kala itu sama sekali tidak memiliki background pengusaha. Dia datang ke Belanda untuk bekerja sebagai perawat. Namun, karena dirinya dan sang istri memiliki hobi memasak yang sama, mereka berdua sepakat untuk mulai membuka bisnis makanan. Menurutnya, tantangan pertama saat ingin membuka usaha makanan di Belanda adalah memahami pasar dan menyiapkan modal.
“Pertama kami melihat ada peluang. Di daerah Apeldoorn hanya ada satu restoran khas Indonesia. Saingannya masih sedikit. Trus karena masih awam mengenai gimana konsumen dan pasar di Belanda, saya mulai ikut komunitas dan temen yang punya usaha. Biar lebih paham,” kata Yusuf yang memulai usahanya sejak 5 tahun silam.
Sementara itu, untuk modal awalnya, Yusuf harus menyiapkan sekitar 50.000 euro untuk pembelian stok bahan, perizinan, sewa tempat, dan berbagai keperluan lain. Yusuf selain itu menuturkan bahwa perizinan usaha di Belanda tidak terlalu rumit asalkan memiliki visa kerja serta bisnis yang akan dijalankan jelas dan sesuai standar.
“Belanda sangat ketat soal standar bisnis makanan. Ada polisi makanan yang bisa tiba-tiba datang. Semua di cek, temperatur makanan, penyedot bau, aliran limbah, jadwal kebersihan. Dulu kita juga pernah kena denda gara-gara jualan makanan di luar. Karena suhunya lebih panas. Nggak sesuai untuk makanan,” ujarnya.
Hal ketiga yang perlu diperhatikan adalah strategi pemasaran. Yusuf mengungkapkan bahwa tiga bulan pertama pembukaan bisnis selalu menjadi masa yang paling sulit. Dia bahkan pernah merasa putus asa karena pemasukan yang minim sedang kapital untuk sewa tempat begitu besar.
“Sempat sepi dulu karena belum paham strategi promosi, coba promosi lewat koran nggak ngefek. Sampai coba-coba lewat sosial media ternyata efektif. Lewat mulut ke mulut juga,” ungkapnya.
Untuk lebih mudah menarik pelanggan, Yusuf juga memperhatikan penamaan restorannya. Karena orang-orang Belanda lebih mengenal nama kota Jakarta atau Surabaya yang identik dengan Indonesia, sehingga nama Resto Mas Surabaya akhirnya digunakan.
“Kini 90 persen pelanggan kita orang Belanda. Dan, selama pandemi bukannya malah menurun, tapi omzet semakin naik dan pelanggan semakin bertambah karena pemesanan online” tutur Yusuf yang juga mempekerjakan beberapa mahasiswa asli Belanda sebagai pekerja paruh waktu tersebut.
Selain Yusuf, dalam diskusi yang digelar via daring tersebut banyak pengusaha dan akademisi UNAIR yang turut hadir. Dr. Gancar Premananto, CMA sebagai salah satu pengisi acara berpesan bahwa selalu ada peluang bisnis kuliner di manapun kalian berada.
“Kami mengadakan acara rutin ini untuk meningkatkan pengetahuan bisnis di luar negeri serta koneksi antar businessman,” tutur ketua program Magister Manajemen UNAIR tersebut. (*)
Penulis: Intang Arifia
Editor: Feri Fenoria