UNAIR NEWS – Indonesia adalah negara demokrasi, dimana rakyatnya bebas dalam berpendapat. Hal ini juga sudah tertulis dalam UUD 1945 pasal 28E ayat (3) yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Dengan perkembangan zaman, kebebasan berpendapat dapat dilakukan dimanapun dengan media apapun. Salah satunya adalah media sosial. Kebebasan berpendapat di media sosial adalah satu hal yang sangat subjektif. Semua orang punya pendapat terhadap hal-hal yang muncul di media sosial.
Sebagai contoh, baru-baru ini salah satu komedian membuat cuitan di media sosial Twitter mengomentari kasus yang sedang ramai diperbincangkan. Menanggapi hal tersebut, mengutip tayangan TvOne pada (16/06/20), Prof. Dr. Drs. Henri Subiakto, SH., MA., guru besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga (FISIP UNAIR) memberikan penjelasan.
Menurut Prof Henri, kritik yang berupa sarkasme dan juga satire dengan bahasa yang mengandung nilai lucu dan terkadang juga terdapat nilai pedas merupakan bagian dari kebebasan berpendapat.
“Jadi sepanjang dia tidak melakukan pelanggaran hukum dalam artian jahat, menyerang kehormatan seorang dengan menuduhkan sesuatu hal, itu dia tidak ada masalah,” jelasnya.
Dengan adanya cuitan tersebut, sambungnya, justru akan memunculkan kreatifitas yang kemudian dibalas dengan lelucon-lelucon oleh yang lain. Selain itu, cuitan tersebut tidak ada persoalan dengan UU ITE melainkan nilai-nilai sosial masyarakat yang sensitif terhadap isu-isu tertentu.
Menurut Henri yang juga merupakan Staf Ahli Menkominfo Bidang Komunikasi dan Media Massa itu, dengan adanya intimidasi dari cuitan tersebut merupakan hasil sensitifitas sosial yang ada di netizen. Semua isu-isu yang menyangkut kritikan pihak tertentu, warga net yang mendukung pihak yang lain langsung bereaksi. Tidak hanya itu, lanjutnya, terdapat kelompok solidaritas di media sosial, baik yang pro maupun kontra, menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara yang dinamis dan banyak orang berpendapat.
Baginya, menjadi suatu penekanan dimana di era demokrasi UU ITE disalahpersepsikan seakan-akan adalah momok. Banyak orang mengira jika berpendapat akan dikena UU ITE. Padahal tidak, yang akan dikenai UU ITE adalah yang berpendapat tetapi menuduh atau memfitnah.
“Yang dilarang ITE itu menuduhkan sesuatu hal, atau orang lain membenci terhadap suku atau golongan,” pungkasnya. (*)
Penulis : Asthesia Dhea Cantika
Editor : Binti Q. Masruroh