Setiap organisasi pasti ingin terus tumbuh dan berkembang. Ini artinya, organisasi akan terus mengalami perubahan dari waktu ke waktu, baik perubahan secara kuantitas seperti bertambahnya jumlah karyawan, bertambahnya kantor cabang, semakin luasnya bangunan, dst, maupun perubahan secara kualitas, misal meningkatnya status akredtasi, pengakuan masyarakat yang semakin luas, penetrasi produk di tingkat dunia, dst.
Perubahan organisasi bukan domain baru dalam studi perilaku organisasi. Berbagai penelitian telah menemukan bahwa proses perubahan organisasi dipengaruhi oleh banyak variabel, baik variabel tingkat organisasi maupun individu. Kesiapan organisasi untuk berubah adalah faktor kunci yang akan menentukan keberhasilan proses perubahan organisasi.
Untuk organisasi pelayanan kesehatan primer di Indonesia, dalam 4 tahun terakhir, telah terjadi gelombang perubahan besar. Sejak penerapan kebijakan Asuransi Kesehatan Nasional pada tahun 2014, semua Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di Indonesia harus melaksanakan tatanan manajemen baru yang menekankan pentingnya kualitas layanan kesehatan, melalui mekanisme akreditasi.
Standar kualitas yang tertulis dalam pedoman akreditasi menetapkan bahwa audit kualitas baik internal maupun eksternal adalah kewajiban yang harus dilakukan secara rutin. Aturan ini telah berhasil merombak berbagai kebiasaan dan pola tata kelola program dari cara konvensional menjadi lebih profesional dan akuntabel.
Namun sayangnya tidak semua petugas kesehatan di puskesmas siap untuk berubah. Dalam sebuah survei yang dilakukan di salah satu puskesmas di Surabaya, masih ada 4,9% staf yang tidak mendukung proses akreditasi, dan 9,8% staf merasa acuh tak acuh. Sikap para petugas ini tentu akan mempengaruhi kesiapan puskesmas untuk berubah.
Weiner, peneliti senior perubahan organisasi dari University of North Carolina mengatakan bahwa komitmen dan efficacy merupakan indikator kesiapan perubahan yang utama. Oleh karena itulah pengukuran komitmen dan efficacy penting untuk mendiagnosis tingkat kesiapan untuk berubah dalam suatu organisasi.
Pada penelitian yang dilakukan di puskesmas di Surabaya, antara komitmen dan efikasi ternyata menunjukkan bahwa yang memiliki hubungan signifikan dengan implementasi perubahan adalah efficacy. Adanya komitmen yang tinggi membuat staf Puskesmas bersedia untuk bekerja lebih giat, tetapi jika tidak dibarengi dengan efikasi maka hasil yang diperoleh tidak akan maksimal. Komitmen tersebut memang membuat staf puskesmas memiliki niat kuat untuk melakukan pelayanan kesehatan sesuai dengan standar kualitas yang seharusnya, tetapi jika ini tidak didukung oleh keyakinan bahwa mereka dapat menerapkan standar kualitas dengan baik, yang akan terjadi adalah penurunan motivasi.
Oleh karena itu, rekomendasi yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian ini adalah perlunya peningkatan efikasi diri bagi petugas puskesmas melalui serangkaian kegiatan peningkatan kapasitas dan pelatihan terkait dengan upaya implementasi untuk meningkatkan kualitas layanan kesehatan. Peningkatan kemampuan staf puskesmas diperlukan sebagai cara untuk mempertahankan dan menumbuhkan komitmen staf dalam menerapkan standar kualitas secara berkelanjutan.
Penulis: Ratna Dwi Wulandari
Informasi detail tentang tulisan ini dapat dilihat di: 10.5958/0976-5506.2019.03127.9