World Health Organization (WHO) melaporkan tahun 2016 sebanyak 10,4 juta kasus baru tuberculosis (TB) dan 1,4 juta orang diantaranya meninggal karena penyakit TB. Disamping itu, Indonesia menempati urutan kedua dalam jumlah kasus TB terbanyak di dunia. Penanggulangan dan pemberantasan Tuberkulosis sampai saat ini belum memuaskan. Beberapa masalah yang ditemui adalah pengobatan yang tidak tuntas. Jika pengobatan tidak tuntas, maka akan meningkatkan resiko keparahan penyakit menuju kearah resisten terhadap obat. WHO telah merekomendasikan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) sebagai strategi dalam penanggulangan TB sejak tahun 1995. Strategi DOTS melibatkan peran pengawas minum obat (PMO) bagi penderita TB. Keterlibatan keluarga sebagai PMO merupakan cara efektif untuk menyembuhkan penderita dan memutuskan rantai penularan.
Penyakit Tuberkulosis tidak hanya berdampak pada penderita tetapi juga dirasakan oleh keluarga yaitu merasa dijauhi dari lingkungan, merasa ketakutan karena tidak dapat disembuhkan, khawatir terhadap beban ekonomi, dan masih banyak hal yang kesemuanya menjadi beban psikologis bagi keluarga penderita. timbulnya reaksi kecemasan pada keluarga yang merawat penderita akan berdampak negatif terhadap tingkat dukungan dan self efficacy keluarga. Keluarga seringkali mengalami cemas akan penurunan kualitas hidup penderita, tertular, kehilangan atau penurunan kemampuan ekonomi, risiko komplikasi yang timbul bahkan juga risiko kematian.
Salah satu upaya untuk meningkatkan peran dan self-efficacy keluarga adalah melalui terapi psikoedukasi keluarga. Psikoedukasi diduga mampu menurunkan kecemasan, meningkatkan self efficacy dan dukungan. Penelitian ini dilakukan dengan Quasy Experiment pre-post test control group design terhadap 56 orang keluarga penderita TB. Subyek penelitian dibagi menjadi dua kelompok, yaitu 28 orang kelompok perlakuan dan 28 orang kelompok kontrol. Psikoedukasi keluarga dikemas dalam bentuk modul interaktif dengan memberikan informasi pengetahuan keluarga untuk meningkatkan dorongan kepatuhan terhadap penderita TB. Modul psikoedukasi keluarga terdiri dari 5 sesi yaitu melakukan identifikasi masalah, manajemen pengetahuan, manajemen kecemasan, program pencegahan dan penularan TB dan manajemen dukungan dan peran keluarga. Kelompok perlakuan diberikan terapi psikoedukasi keluarga satu kali pertemuan selama 60 menit, dengan metode pemberian informasi, diskusi serta tanya jawab menggunakan media modul. Kelompok kontrol hanya diberikan health education seperti prosedur standar yang ditetapkan tim Penyuluhan Kesehatan Rumah Sakit (PKRS) di rumah sakit.
Hasil penelitian menunjukkan psikoedukasi keluarga secara signifikan berpengaruh dalam menurunkan kecemasan, meningkatkan dukungan keluarga, serta meningkatkan self efficacy keluarga penderita TB. Adanya informasi yang didapatkan keluarga pasien sebagai modal pembentuk strategi koping sehingga menurunkan tingkat kecemasan yang dirasakan. Informasi tentang manajemen perawatan pasien TB memiliki peranan yang penting dalam membentuk pola koping responden secara konstruktif. Modul psikoedukasi juga mencantumkan bagaimana seseorang dapat melakukan manajerial diri dalam mengatasi kecemasan untuk berbagai tingkatan. Proses paparan psikoedukasi keluarga membentuk pola interaksi yang merubah persepsi, sikap, dan tindakan keluarga pasien dalam menghadapi masalah. Perubahan pandangan tersebut yang menjadikan keluarga pasien lebih adaptif dalam mengelola kecemasan.
Psikoedukasi keluarga mampu meningkatkan dukungan dengan cara membentuk sisi kognitif keluarga pasien. Psikoedukasi keluarga memberikan pemahaman bahwa keluarga adalah sumber kekuatan yang diperlukan pasien guna mencapai keberhasilan pengobatan. Pemahaman tersebut pada tahap berikutnya akan membentuk suatu perilaku untuk mendukung pasien baik berupa dukungan informasional, emosional, instrumental, serta penilaian.
Psikoedukasi keluarga berpengaruh terhadap self efficacy disebabkan karena faktor personal dan interpersonal. Lamanya anggota keluarga didiagnosis Tuberkulosis berkaitan dengan keyakinan prognosis penyakit. Prognosis penyakit yang baik akan membentuk self efficacy yang lebih tinggi. Latar belakang pendidikan juga berperan sebagai dasar kognitif keluarga pasien. Usia dewasa dengan kematangan pemikiran yang cukup dapat membentuk keyakinan diri atau self efficacy.
Berdasarkan hasil penemuan tersebut, psikoedukasi keluarga merupakan salah satu intervensi keperawatan yang berbasis penelitian ilmiah. Pengembangan body of knowledge ilmu keperawatan medikal bedah terutama dalam manajemen pengobatan pasien Tuberkulosis dapat mencakup intervensi psikoedukasi kepada keluarga agar tercapai efektifitas terapi. Diharapkan rumah sakit menjadikan psikoedukasi keluarga sebagai suatu pendekatan edukasi yang ditargetkan untuk keluarga pasien Tuberkulosis. Kebijakan program psikoedukasi keluarga akan lebih optimal jika dijadikan standar prosedur operasioanl (SPO) dalam manajemen pengobatan Tuberkulosis yang komprehensif.
Penulis: Ika Nur Pratiwi
Tautan terkait tulisan di atas: https://www.psychosocial.com/article/PR270850/19115/