Kita sudah tahu bahwa Indonesia memiliki berbagai ribu jenis tanaman yang berkhasiat sebagai obat. Herbal atau tanaman obat merupakan istilah yang umum untuk menyebut tanaman tersebut.
Kemanfaatan tanaman obat dalam kehidupan masyarakat sudah dirasakan sejak dahulu kala, yang dikenal dengan istilah obat tradisional. Meskipun kita telah memasuki era industri 4.0, keberadaaan obat tradisional masih sangat dibutuhkan. Dalam dunia farmasi, tanaman obat merupakan sumber bahan baku obat tradisional maupun modern.
Kecenderungan masyarakat untuk menggunakan untuk mengkonsumsi obat tradisional masih tinngi, didukung adanya perubahan gaya hidup back to nature dan mahalnya obat-obatan modern yang membuat permintaan tanaman obat semakin tinggi, tidak hanya di Indonesia tetapi juga dunia.
Sayangnya, tanaman obat yang ada di Indonesia saat ini masih belum dikembangkan menjadi obat herbal, dan lebih cenderung hanya untuk jamu. Jika tanaman obat ini mampu diproduksi sebagai Obat Herbal Terstandar (OHT) dan Fitofarmaka maka akan mempunyai nilai jual yang lebih tinggi
dan kemampuan daya saing yang lebih kuat baik di pasar dalam negeri maupun internasional. Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki hutan hujan tropis terbesar di dunia memiliki potensi sebagai produsen tanaman obat dunia.
Untuk menuju sebagai tanaman yang berkhasiat, tentunya diperlukan bukti-bukti tentang penelitian kemanfaatan dan keamanannya. Diharapkan dengan adanya bukti penelitian secara ilmiah, maka dapat menjadikan suatu obat yang terstandar.
Masih bermanfaatkah ektrak etanol temulawak sebagai antioksidan jika disimpan dalam waktu lama?
Efektivitas suatu ekstrak tanaman obat akan nampak nyata jika diberikan secara berulang untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Temulawak umum digunakan sebagai antioksidan oleh masyarakat tentunya harus disimpan dalam suhu optimum, sehingga khasiatnya tidak berubah dalam jangka waktu yang cukup lama. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian pengaruh suhu dan lama penyimpanan temulawak terhadap potensi antioksidan ekstrak etanol temulawak.
Akhir-akhir ini penggunaan antioksidan mengalami peningkatan dalam bidang kedokteran gigi. Pada umumnya sediaan antioksidan yang terkait untuk kesehatan rongga mulut dalam bentuk topikal oral seperti obat kumur, gel, pasta, dan lozenges. Pengobatan menggunakan antioksidan topikal akan mengurangi radikal bebas atau reaktif-oksigen spesies, sebagai salah satu penyebab inflamasi pada penyakit jaringan gusi dan periodontal.
Determinasi simplisia dilakukan untuk mengetahui kebenaran identitas dari simplisia yang akan digunakan dalam penelitian ini. Pembuatan ekstrak etanol rimpang temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) dilakukan dengan cara simplisia sebanyak 250 g dimaserasi dengan 1000 mL larutan etanol 70% selama 3 hari. Kemudian disaring sampai mendapat ekstrak cair. Hasil dari ekstrak cair tersebut diuapkan sampai mendapat ekstrak kental. Penelitian ini menggunakan dua variabel yaitu suhu dan lama penyimpanan, yang terdiri dari empat kelompok, yaitu kelompok kontrol negatif/ blanko (K-), kelompok vitamin C (K+), kelompok ekstrak temulawak yang disimpan pada suhu 370C (EET37) dan temulawak yang disimpan pada suhu 40C (EET4).
Pembuatan larutan blanko dilakukan dengan dengan cara menimbang DPPH sebanyak 4 mg dilarutkan dengan 100 mL etanol. Larutan pembanding disiapkan dengan cara menimbang 200 mg vitamin C kemudian dilarutkan dengan 200 mL aquades. Menyiapkan larutan sampel dengan cara mengambil ekstrak temulawak sebanyak 10 uL dan dilarutkan dengan etanol lalu dihomogenkan hingga volume 1 mL. Setiap larutan kemudian disimpan selama 3 dan 7 hari. Pengukuran absorbansi DPPH dengan spektrofotometer UV-VIS pada pada panjang gelombang 517 nm.
Hasil penelitian menunjukkan dengan adanya peningkatan nilai absorbansi DPPH ekstrak temulawak sesuai dengan lamanya waktu penyimpanan, meskipun ekstrak temulawak disimpan dalam lemari pendingin 40C. Penyimpanan dalam lemari pendingin dapat menahan kenaikan nilai absorbansi DPPH ekstrak temulawak dibandingkan dengan penyimpanan pada suhu ruang (370C), meskipun tidak secara signifikan. Kemampuan antioksidan dari vitamin C tidak mengalami perubahan meskipun disimpan dalam jangan waktu yang lama, sehingga menghasilkan nilai absorbansi yang konstan.
Tingginya kandungan air pada ekstrak tanaman diduga dapat menjadi penyebab rusaknya suatu ekstrak, sehingga khasiat suatu tanaman obat menjadi berkurang dikarenakan mikroorganisme mudah berkembang dan menghasilkan senyawa toksik. Pembuatan ekstrak yang kurang steril atau tidak memenuhi cara pembuatan obat yang baik/ terstandar juga dapat menjadi penyebab menurunnya khasiat suatu tanaman obat.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penyimpanan ekstrak etanol temulawak hingga hari ke-7 mengalami penurunan aktivitas sebagai antioksidan melalui UJI DPPH dibandingkan vitamin C, meskipun telah disimpan dalam lemari pendingin dengan suhu 40C. Gunakanlah ekstrak segar untuk mendapatkan khasiat yang maksimal.
Penulis: Hendrik Setia Budi
Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:
http://www.sysrevpharm.org//fulltext/196-1587708050.pdf?1589993742