UNAIR NEWS – Belakangan ini, herd immunity atau kekebalan kelompok menjadi salah satu kunci pencarian di mesin pencarian Google yang banyak dicari. Hal tersebut berkaitan dengan pandemi Covid-19 yang setiap hari semakin meningkat, terutama di Indonesia. Kamis (21/5/20) tercatat 20.162 kasus terkonfirmasi.
World Health Organization (WHO) sebelumnya telah memperingatkan teori herd immunity sangat berbahaya dijadikan strategi untuk mengatasi pandemi Covid-19. Menanggapi hal tersebut, Laura Navika Yamani, S.Si., M.Si. Ph.D., dosen epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga (FKM UNAIR) memberikan penjelasan.
Menurut Laura, herd immunity adalah kekebalan komunitas atau kelompok yang bisa dicapai ketika tingkat imunitas komunitas tersebut tinggi.
“Konsep herd immunity paling tepat digunakan dalam praktek vaksinasi. Ketika suatu populasi mendapatkan cakupan vaksinansi tinggi artinya dapat melindungi kelompok minoritas yang tidak tervaksinasi,” ucap Laura.
Cakupan vaksinasi itu, lanjutnya, bergantung dari tingkat daya tular virus atau penyakit infeksi atau yang dikenal dengan reproduction number (R0). Semakin tinggi daya tular atau R0, maka cakupan vaksinasi juga harus tinggi.
Laura mengatakan, untuk kasus Covid-19 memiliki R0 mencapai dua sampai empat. Artinya, 1 orang terinfeksi bisa menularkan ke dua sampai empat orang. “Jadi mencapai herd immunity harusnya ada sekitar 50 persen orang harus mendapatkan vaksin Covid-19,” jelasnya.
Hanya saja, herd immunity yang sekarang berkembang maknanya seperti proses pembiaran. Artinya, orang dibiarkan terpapar secara alami dengan Covid-19 untuk membentuk kekebalan individu secara maksimal sampai memperoleh tingkat herd immunity.
Menurut Laura, jika Indonesia dengan jumlah penduduk 270 juta jiwa menerapkan konsep herd immunity Covid-19 bukan dengan vaksinasi tetapi pembiaran agar terpapar secara alami. Maka harus ada sekitar 50 persen orang yang terinfeksi alami atau sakit Covid-19 yaitu sekitar 135 juta jiwa.
Dengan mengikuti data global, yang menjadi parah sekitar 30 persen atau 40 juta jiwa lebih yang membutuhkan penanganan khusus, termasuk petugas medis, ruang isolasi, ventilator, Indonesia harus memiliki fasilitas tersebut.
“Jika tidak maka tingkat kematian akan tinggi karena pasien-pasien tersebut tidak tertangani. Jika kita bisa menekan penyebaran, sebetulnya untuk mengurangi beban petugas medis dan fasilitas yang dibutuhkan dan jumlah kasus kematian dapat ditekan,” tuturnya.
Maka dari itu, Indonesia tetap pada track-nya yaitu melakukan upaya pencegahan penyebaran dengan menerapkan apa yang menjadi kebijakan yang telah diambil yaitu Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Selain itu, melakukan memonitoring serta mengevaluasi bahwa penerapan PSBB memberikan outcome sesuai dengan indikator keberhasilan yang ingin dicapai.
“Intinya adalah kebijakan yang diambil untuk melakukan pembatasan pergerakan orang dan didukung oleh kebijakan penerapan protokol kesehatan oleh masyarakat. Intervensi-intervensi tersebut diharapkan dapat memutus mata rantai penularan Covid-19. Selain itu juga mempercepat proses 3T yang dilakukan yaitu test, treat, dan tracing, sehingga kasus positif dapat segera diisolasi dan tidak menjadi sumber penularan yang meluas,” pungkasnya. (*)
Penulis : Asthesia Dhea Cantika
Editor : Binti Q. Masruroh