Hampir pasti, hingga saat ini masih banyak para “pengepul” atau “pengawet” komoditas perikanan menggunakan bahan kimia tertentu sebagai bahan utama pengawet komoditas perikanan tersebut, seperti formaldehid. Sejak lama diaplikasikan bahan-bahan pengawet komoditas perikanan seperti es batu maupun formaldehid (dengan nama dagang formalin). Pendinginan menggunakan es batu diharapkan dapat mengawetkan komoditas perikanan (khususnya ikan) melalui penurunan suhu lingkungan, sehingga ikan tidak cepat rusak dan membusuk. Akan tetapi, kebutuhan es batu yang banyak dan dirasa tidak praktis membuat pengepul atau pengawet bahkan mungkin nelayan menggunakan bahan kimia formaldehid sebagai alternatif “terbaik” dalam mengawetkan ikan.
Meskipun saat ini telah dikembangkan berbagai bahan pengawet alami, seperti asap cair maupun khitosan, akan tetapi ketersediaan dan kebutuhan yang tidak seimbang serta harga yang dirasa masih belum terjangkau menyebabkan formaldehid masih menjadi pilihan “terbaik”. Padahal sebagian masyarakat mungkin sudah faham tentang bahaya formaldehid bagi bahan pangan konsumsi.Telah banyak penelitian dan informasi terkait formaldehid sebagai bahan karsinogenik bagi manusia. Penggunaan formaldehid (formalin) sebagai pengawet bahan panganjuga dilarang di Indonesia berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1168/Menkes/Per/X/1999 tentang Bahan Tambahan Makanan, Peraturan Menteri Perindustrian Nomor: 24/M-Ind/PER/5/2006 tentang Pengawasan, Produksi dan Penggunaan Bahan Berbahaya untuk Industri, dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan.
Udang merupakan salah satu produk komoditas perikanan dengan nilai ekonomis tinggi yang memilliki sifat mudah busuk (highly perishable), maka penanganan yang baik mutlak diperlukan agar mutu udang tetap segar pada saat dikonsumsi. Salah satu proses untuk meminimalisir kerusakan tersebut adalah menggunakan proses pengawetan. Apabila formaldehid seringkali digunakan untuk mengawetkan ikan, bagaimana pengaruh paparan formaldehid pada udang terkait kandungannya di dalam daging udang? Hal ini yang melatarbelakangi pengujian paparan konsentrasi formaldehid yang berbeda (0, 1, 2, 3, 4, dan 5%, masing-masing selama 1 jam) terhadap pola kandungannya pada daging udang. Sampel yang digunakan untuk pengujian adalah udang vaname, karena saat ini jenis udang putih ini merupakan komoditas unggulan produksi budidaya dan perdagangan udang di banyak negara, khususnya di Indonesia.
Udang yang mengandung formaldehid cukup sulit dibedakan dengan udang tanpa formaldehid apabila hanya dilihat dari warna dan bau. Meskipun berdasarkan tekstur daging udang yang mengandung formaldehid apabila ditekan terasa sangat kenyal dan selalu tampak segar, akan tetapi hal ini belum dapat digunakan sebagai ciri pasti perbedaan dengan udang tanpa mengandung formaldehid, apalagi terkait dengan kadar formaldehid yang terkandung di dalam daging udang.
Kandungan formaldehid pada bahan pangan dapat dideteksi atau dianalisis menggunakan beberapa metode, baik secara kualitatif dan kuantitatif, seperti metode kolorimetri, spektrofotometri, HPLC, dan GC-MS. Bahkan metode relatif baru untuk pengujian kandungan formaldehid dalam daging ikan dan atau udang adalah melalui sensor laser.
Udang yang dipapar formaldehid dengan konsentrasi berbeda dilakukan pengukuran menggunakan spektrofotometri UV-Vis. Hal ini dilakukan untuk mengetahui kadar konsentrasi yang diserap oleh udang vaname jika dilakukan paparan dalam waktu yang sama (1 jam). Pengujian ini menggunakan panjang gelombang 415 nm untuk mendapatkan hasil yang diharapkan. Berdasarkan hasil pengujian menunjukkan kurva linier positif, artinya bahwa semakin tinggi konsentrasi paparan formaldehid pada udang dengan waktu paparan yang sama, maka semakin tinggi kandungan formaldehid di dalam daging udang yang terdeteksi.
Penulis: Akhmad Taufiq Mukti
Referensi: Hermawan O, Mukti AT, Yasin M. 2020. Formaldehide content in white shrimp after formalin soakingwith different doses. Journal od Aquaculture and Fish Health, 9(1): 69-74 doi:10.20473/jafh.v9i1. 15915.