Pernyataan bersama organisasi profesi kesehatan pada 27 Maret 2020 memohon kepada negara untuk menjamin Alat Pelindung Diri (APD) yang sesuai bagi setiap tenaga kesehatan yang bertugas melayani masyarakat pada wabah COVID-19 saat ini. Dalam 10 hari terakhir sudah ada 10 dokter Indonesia yang meninggal dari total 102 kematian (update 28 Maret 2020). Di mana hal ini menyumbang 9.8% angka kematian yang diakibatkan COVID-19 di Indonesia.
Dokter dan perawat sebagai ujung tombak dalam penanganan COVID-19 merupakan pihak yang paling berisiko tinggi untuk terkena. Jika APD yang sesuai tidak terpenuhi maka tindakan perawatan pasien COVID-19 untuk sementara tidak dapat dilakukan demi keselamatan tenaga kesehatan itu sendiri. Tidak ada kata mogok dalam pernyataan tersebut. Lantas apakah pernyataan bersama organisasi profesi kesehatan tersebut keliru? Apa sesederhana itu permasalahannya?
Tujuan Penggunaan APD
Pengadaan APD untuk petugas kesehatan adalah hal yang wajib dilaksanakan sebelum petugas kesehatan mulai bekerja dikarenakan: (1) Rumah Sakit (RS) adalah sumber paparan terbesar untuk terjangkit virus Corona baik bagi pasien maupun petugas kesehatan. (2) Penggunaan APD pada petugas kesehatan adalah langkah yang efektif untuk memotong rantai penularan. (3) Melindungi petugas dan keluarganya dari ancaman virus. (4) Sakitnya petugas kesehatan secara langsung akan menurunkan kemampuan RS untuk menolong pasien COVID-19.
Memahami Sistem Kesehatan Saat Ini
Kesehatan merupakan hak dasar yang harus dilindungi negara. Hal ini sudah tertuang dalam amanden IV UUD 1945. Bila negara mengabaikan, berarti negara melanggar konstitusi. Harapan muncul ketika BPJS hadir di tengah kita semua. BPJS hadir untuk menjanjikan jaminan semesta untuk seluruh rakyat Indonesia, namun setelah berjalan selama 6 tahun timbul permasalahan yang tidak kunjung selesai seperti ketidakmampuan menambal defisit, kesulitan untuk membayar claim tepat waktu, ketidakmampuan untuk menutup claim dari dana yang dihimpun BPJS hingga kesulitan pemerintah untuk menalangi defisit dana BPJS setiap tahunnya. Padahal fakta di lapangan berbicara lain.
Tarif yang ditetapkan pemerintah (BPJS) untuk pelayanan kesehatan, tindakan medis, rawat inap, honor tenaga medis dan lain-lain jauh dibawah standar bahkan terkesan kurang manusiawi. Masalah yang lebih memprihatinkan lagi adalah pengobatan, tindakan, dan pemeriksaan ditentukan oleh standar yang ditetapkan oleh BPJS (berorientasi ke reduced cost) bukan sesuai dengan kaidah medis. Begitu juga jika ada wabah atau bencana yang bermuatan financial risk seperti wabah COVID-19 saat ini, maka risiko itu seharusnya menjadi tanggung jawab negara. Bagian terberatnya adalah rakyat Indonesia tidak punya cadangan finansial yang memadai untuk menghadapi itu semua.
Sir Michael Marmot (WHO) menyatakan sistem kesehatan adalah kendaraan untuk menuju kehidupan yang lebih baik. Kesehatan merupakan ujung dari semua masalah negara yang berupa kemiskinan, akses pendidikan, kesenjangan sosial, lingkungan, infrastruktur, perubahan gaya hidup, lompatan teknologi dan yang terpenting adalah political will negara. Ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam pelayanan kesehatan, yaitu kualitas (quality), keterjangkauan (accessibility), dan kemampuan (affordability). BPJS hanyalah soal iuran dan bayar membayar. Logikanya bagaimana kita akan menentukan harga jika kualitas barangnya (layanan medik) belum terukur? Kegagalan finansial pelayanan kesehatan termasuk di dalamnya penyediaan APD bagi tenaga kesehatan adalah akibat dari kegagalan kita bersama dalam menjawab tantangan zaman.
Apakah dokter akan mogok melayani pasien?
Menurut salah seorang guru saya, ada tiga macam dokter di dunia ini. Pertama, skillfull doctors, dokter yang pandai dan terampil. Di sini kita berbicara tentang keunggulan kognitif dan psikomotor, tidak lebih dari itu. Untuk apa dan bagaimana dia menggunakan kepandaiannya, itu soal lain. Kedua, good doctors, dokter yang baik. Dia pandai, rajin, terampil, patuh pada aturan dan menjunjung tinggi etika. Kita akan merasa aman dan nyaman bekerja dengannya. Ketiga, true doctors, dokter sejati. Tidak hanya baik, dia pun memiliki keunggulan afektif, keluhuran yang tinggi dan amat mencintai kehidupan ini. Dia tidak pernah meninggalkan pasiennya walau dalam keadaan apapun. Spirit dan baktinya melampaui batas ruang dan waktu. Dialah yang akan memberikan hal-hal terbaik bagi kehidupan manusia juga bagi bangsa dan negaranya. Hanya pada dialah kita dapat menitipkan masa depan bangsa ini.
Beliau berpesan, “Sebagai seorang dokter kamu akan memasuki kehidupan baru yang mungkin belum sepenuhnya kamu mengerti. Banyak hal lain di luar profesimu yang lebih membutuhkan pemahamanmu. Sebagai dokter, kamu kelak akan bekerja dengan tanganmu, akalmu dan juga kepandaianmu. Namun yang lebih penting, bekerjalah dengan hatimu.” Nilai manusia bukan terletak pada pintarnya, tetapi pada komitmennya. Sepintar apapun apabila hanya untuk kepentingan sendiri, dia hanya akan menjadi benalu. Sepintar apapun apabila tanpa komitmen, dia tidak bernilai apa-apa.
Saat ini kita sedang berperang melawan musuh yang tidak terlihat, sangat berbahaya, dan kita tidak tahu sampai kapan wabah ini akan berakhir. Lebih dari seratus ribu dokter yang bekerja dengan hati dengan APD minimal dan seadanya sedang berjuang di garda terdepan garis perang mempertaruhkan nyawa untuk bangsa ini. Dokter Indonesia tidak punya tradisi “lari tinggal gelanggang”, menelantarkan pasien. Masyarakat tidak perlu cemas dan berpikir ke arah sana karena semua dokter Indonesia adalah true doctors. Kami tidak akan pernah melanggar sumpah kami, senantiasa mengutamakan kepentingan rakyat dan berjuang di sisi rakyat.
Jagaddhito Probokusumo, dr.
Residen Jantung dan Pembuluh Darah FKKMK UGM-RSUP Dr. Sardjito
Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Emergensi Indonesia (PDEI)
Pengurus IDI Cabang Surbaya