Institusi pendidikan tinggi saat ini dihadapkan pada dinamika lingkungan yang sangat dinamis, jika dilihat dari sisi bagaimana sebuah pendidikan tinggi harus memenuhi standar kualitas sebagai syarat bahwa perguruan tinggi telah dikelola efektif dan efisien.
Perguruan tinggi ini harus memfungsikan dirinya lebih kompetitif dari lingkungan sebelumnya. Sebagai reaksi terhadap kondisi baru ini, institusi mengambil inisiatif untuk menciptakan kembali diri mereka pada tingkat strategis. Namun, kebanyakan institusi pendidikan tidak memiliki jawaban strategis yang cukup untuk kondisi baru tersebut.
Sementara mereka akan sering menemukan cara untuk meningkatkan efektivitas operasional, termasuk peningkatan kualitas tersebut yang tidak secara otomatis menghasilkan efek yang diinginkan dalam peningkatan posisi kompetitif sebuah institusi dalam jangka panjang.
Peningkatan kualitas dan perbaikan terus menerus yang benar bertujuan untuk menciptakan nilai tambah permanen atau dampak. Namun bukanlah tugas yang mudah bagi institusi pendidikan dimana seringkali inovasi mereka tidak berhasil karena budaya organisasi dan budaya manajemennya bertentangan dengan tujuan yang diinginkan.
Berkenaan dengan pencapaian target kualitas berstandarisasi, posisi middle manager akademik sangat penting, peran ini krusial namun seiring waktu peran mereka telah berubah. Sejak tahun 1989, ketika diperlakukannya standar akreditasi bagi perguruan tinggi.
Peran kepala departemen dan manajer menengah akademis adalah sebagai guru senior yang juga kebetulan terlibat proses administrasi rutin. Bagaimanapun, tekanan eksternal memaksa manajer menengah akademis untuk lebih fokus pada kualitas pengajaran dan pembelajaran, kualitas pengabdian dan penelitian yang didalamnya harus ada kewajiban desiminasinya. Mereka diharapkan bisa benar-benar memiliki kapabilitas untuk mendukung capaian capaian peningkatan kualitas tersebut.
Schoemaker (1993) menggunakan istilah ‘capabilities.’untuk menggambarkan proses organisasi dimana perusahaan mensintesis dan memperoleh sumber daya pengetahuan, dan menghasilkan aplikasi baru dari sumber daya tersebut. Maka ‘dinamis’ mengacu pada kapasitas untuk memperbaharui kompetensi sehingga mencapai keselarasan dengan lingkungan bisnis yang berubah; tanggapan inovatif tertentu diperlukan bila time-to-market dan timing sangat penting, laju perubahan teknologi yang cepat, dan sifat persaingan di masa depan dan situasi pasar sulit untuk diprediksi.
Istilah kapabilitas menekankan peran penting manajemen strategis dalam beradaptasi, mengintegrasikan, dan konfigurasi ulang keterampilan internal dan eksternal organisasi, sumber daya, dan kompetensi agar sesuai dengan persyaratan dari lingkungan yang berubah.
Dalam konteks pencapaian standar kualitas tertinggi (A) sebagai bagian peningkatan kualitas yang terus menerus (Continuous Improvement Growth) maka peran manager, terutama pada level middle manager (manager menengah) pada proses bisnis dalam perguruan tinggi menjadi sangat krusial dalam mengorkestrasi kapabilitas dinamis organisasi, karena dalam implementasi ini manager menengah menjadi eksekutor teknis proses pencapaian yang dimaksud.
Penelitian-penelitian sebelumnya juga lebih menitikberatkan pada level top manajemen sebagai pengorkestrasinya. Penelitian-penelitian terkait dengan kapabilitas dinamis telah banyak dilakukan, namun melibatkan peran middle manager menjadi jarang dilakukan khususnya kapabilitas sensing, seizing dan reconfiguring.
Sensing pada dasarnya merupakan proses untuk melihat kembali peluang yang ada di depan organisas. Siezing merupakan susatu tantangan dimana perusahaan diharuskan dapat menginvestasikan sumber daya yang dimiliki dalam bidang teknologi dan juga dalam asset pendukung dan pelengkap lainnya dalam kaitannya untuk mengeksplore adanya suatu peluang baru dalam dunia bisnis (Grimaldi, 2013).
Rekonfiguring merupakan suatu kemampuan perusahaan dalam mengkonfigurasi ulang aset yang mereka miliki, bagaimana meng-orkestrai asset yang mereka punya untuk menjadi lebih efektif untuk merespons perubahan yang sangat cepat, dinamis, dan dengan lingkungan bisnis yang tidak pasti dan selalu bergejolak (Grimaldi, 2013).
Hasil pengujian menunjukkan bahwa koefisien direct effect sensing terhadap continuous improvement growth, demikian juga seizing memiliki pengaruh terhadap continuous improvement growth, terakhir kapabilitas reconfiguring memiliki pengaruh kuat terhadap continuous improvement.
Bahwa sensing, seizing, reconfiguring midlle manager berpengaruh positif signifikan terhadap Continuous Improvement Growth, hasil ini memberikan informasi yang ada menjadi pengetahuan baru, memanfaatkan pengetahuan atau gagasan baru lalu mengembangkan potensi untuk mempengaruhi pengembangan, menerapkan strategi organisasi yang baru, metode atau strategi, layanan baru, serta mencapai target dan sasaran yang dituju dengan tetap memperhatikan perkembangan lingkungan bisnis yang terus berubah. (*)
Penulis: Dien Mardhiyah
Artikel lebih lengkapnya dapat diakses melalui link berikut ini
https://www.ijrte.org/wp-content/uploads/papers/v8i4/B3906078219.pdf