Ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis) merupakan ikan komoditas laut yang mengalami peningkatan aktivitas ekspor secara stabil, dimana selama kurun waktu 2018 mencapai rataan harian sebesar 605.132 ekor (BKIPM KKP, 2018). Ikan ini termasuk dalam komoditas laut yang memiliki peluang pasar dalam maupun luar negeri yang menjanjikan (Wardana dan Tridjoko, 2015). Hal ini disebabkan karena ikan kerapu tikus memiliki toleransi terhadap perubahan lingkungan sehingga mampu dipasarkan dalam kondisi hidup (Sumino dkk., 2017). Berdasarkan tingginya permintaan pasar maka budidaya ikan kerapu tikus mulai dikembangkan untuk menghindari kelebihan tangkap dan kepunahan. Tingkat keberhasilan dari budidaya ikan kerapu tikus ditentukan oleh adanya benih yang berkualitas dan bebas penyakit.
Tingkat keberhasilan dari budidaya ikan kerapu tikus ditentukan oleh adanya benih yang berkualitas (BSN, 2011). Salah satu permasalahan utama dalam penyediaan benih yang berkualitas adalah adanya serang penyakit yang dapat disebabkan baik oleh parasit, bakteri, jamur maupun virus. Ukuran benih kerapu tikus hasil pembenihan di Hatchery bervariasi antara 2-3 cm, 4-7 cm dan 8-10 cm. Benih dengan ukuran lebih dari 10 cm akan mengalami masa transisi di karamba jaring apung (KJA) atau disebut dengan sistem pendederan. Pada masa transisi ini benih sangat rentan terhadap serangan penyakit. Salah satu penyakit pada ikan kerapu yang dapat merugikan pada budidaya adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing ektoparasit.
Beberapa kasus cacing ektoparasit yang ditemukan pada ikan kerapu tikus antara lain di KJA perairan Teluk Hurun, Lampung adalah Haliotrema (Sumino dkk., 2017). Penelitian Wiyanto dkk. (2012) menyatakan bahwa ditemukan Neobenedenia, Benedenia dan Pseudorhabdosynochus di KJA UPBL Situbondo. Ditambahkan oleh Mahardika dkk. (2018) Zeylanicobdella arugamensis juga ditemukan menginfestasi ikan kerapu tikus di hatchery dan KJA di perairan laut Bali Utara. Cacing ini kebanyakan ditemukan pada bagian permukaan tubuh, sirip, mata, rongga hidung dan mulut, dengan tanda-tanda yang utama bahwa ikan yang terserang terdapat luka-luka dan pendarahan pada permukaan tubuh.
Pemeriksaan cacing pada ikan kerapu tikus ini diawalai dengan melakukan survey ke beberapa lokasi budidaya ikan kerapu, yang ditemukan di beberapa wilayah. Pengambilan sampel ikan kerapu tikus dilakukan sesuai dengan kehendak peneliti yang disesuaikan dengan tujuan penelitian., di Karamba Jaring Apung di Perairan Laut Situbondo. Sampel yang diteliti ukuran 13 – 20 Cm dari KJA dan ukuran 8 – 10 Cm dari Hatchery, sebanyak masing-masing 30 ekor. Kemudian dihitung jumlah cacing yang ditemukan dan derajat keparahan serangan ektoparasit tersebut. Saat pengambilan sampel ikan kerapu juga dilakukan pemeriksaan kualitas air sebagai data pendukung penelitian.
Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa nilai intensitas dan derajat infestasi dari infestasi tunggal Zeylanicobdella di hatchery adalah 1,6 individu/ekor (ringan) dan di KJA adalah 4,7 individu/ekor (ringan). Pada infestasi tunggal Neobenedenia di hatchery adalah 0 individu/ekor (normal) sedangkan di KJA adalah 2,5 individu/ekor, yang termasuk dalam kategori RINGAN Pada infestasi campuran Zeylanicobdella dan Neobenedenia di hatchery adalah 0 individu/ekor termasuk kategori RINGAN dan di KJA adalah 9,5 individu/ekor dalam kategori SEDANG. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan sangat nyata antara intensitas dan derajat infestasi ektoparasit cacing di Hatchery dan KJA.
Penulis: Gunanti Mahasri
Departemen Manajemen Kesehatan Ikan dan Budidaya Perairan
E-mail : mahasritot@gmail.com
Informasi detail dari riset ini dapat dibaca pada tulisan di: Mahasri, G., P.D. Wulansari dan I.H. Imani, 2019. Intensitas Cacing Ektoparasit Ikan Kerapu Tikus Cromileptes altivelis pada Karamba Jaring Apung di Perairan Situbondo Jawa Timur, Jurnal Kelautan Tropis. 22(2):135-140 / https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/jkt/article/view/5295