“Terimakasih. Semoga Hari Santri tida hanya diperingati, tetapi juga memantik semangat memperbaiki diri”. Kalimat pesan ini dikirim almarhumGus Sholah (22/10/2019, pukul 14.08), sebagai balasan atas pesan yang saya kirim untuk menghaturkan peringatan Hari Santri.
Pesan Gus Sholah itu boleh jadi sebagai ungkapan “kegelisahan” yang lazim dirasakan oleh seorang cendekiawan. Saat itu beliau kawatir Hari Santri terjebak dalam eforia formalitas dan kepentingan politik. Saya membalas kembali chat beliau dengan kalimat:”Inggih Gus. Menika ingkang penting. Tidak sekedar upacara saja”.
Beliau langsung membalasnya dengan kalimat lebih panjang:”Saya memperbaiki Tebuireng sudah 13 tahun, belum bisa seperti saya harapkan, walaupun bagi banyak orang sudah banyak sekali kemajuannya”.
Dr. Ir. Salahuddin, yang kemudian akrab disebut Gus Sholah memang seorang cendekiawan sejati. Seorang cendekiawan selalu berpikir kritis, dan sekaligus berupaya menawarkan solusinya. Seorang cendekiawan selalu punya pikiran-pikiran inspiratif yang memiliki kekuatan menggerakkan orang lain. Sejajar dengan sosok cendekiawan lainnya, Gus Sholah dipenuhi produksi gagasan-gagasan perbaikan masa mendatang.
Perjalanan Multi Dimensi
Gus Sholah,sesungguhnya seorang yang berkarir sukses di bidang arsitek bangunan (1970-1988). Entah kenapa, kemudian meninggalkan karir yang menjanjikan itu dan beralih menjadi seorang penulis.
Nalurinya sebagasi sosok cendekiawan, mulai mengemuka sejak tahun 1993 dan terekspresikan pada tulisan-tulisannya banyak menyoroti berbagai persoalan yang sedang dihadapi umat dan bangsa. Tak jarang pikiran dan gagasannya berbeda dengan kakak kandungnya, Gus Dur yang pernah menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia.
Pergulatannya di lingkungan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) selanjutnya mendekatkan Gus Sholah dengan dunia politik.Tahun 1998 bergabung dengan Partai Kebangkitan Umat (PKU), tetapi setahun kemudian (1999), Gus Sholah mengundurkan diri dari PKU. Beliau memilih aktif di Nahdatul Ulama (NU), dan menjadi salah satu ketua PBNU periode 1999-2004. Selain itu juga beraktivitas di Komnas HAM periode 2002-2007.
Perjalanan aktivitas di ruang publik kemudian membawanya terlibat dalam politik praktis. Ketika sistem pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan secara langsung (2004), Gus Sholah dipinang Golkar untuk maju sebagai Cawapres berpasangan dengan Wiranto.
Tahun 2006, menjadi tahun penting bagi perjalanan Gus Sholah. Jika sebelumnya menjadi “orang Jakarta”, kemudian atas permintaan pimpinan Pondok Tebu Ireng sebelumnya, KH. Muhammad Yusuf Hasyim, Gus Sholah diangkat menjadi pimpinan pondok yang berpengaruh besar di Indonesia ini. Jadilah Gus Sholah tinggal di Jombang yang tentunya berbeda dengan hiruk pikuk Jakarta.
Memilih di Jalan Sunyi
Tulisan ini sesungguhnya hanya sekelumit ringkas yang sebagian saya pungut dari berbagai dokumen. Namun, saya bersyukur bisa membuat catatan bersama Gus Sholah sejak tahun 2017, ketika beliau sudah berada di Tebuireng Jombang.
Dalam 3 tahun terakhir, saya berkesempatan duduk bersama sepanggung dalam 3 agenda berbeda. Pertama, pada acara Oase Bangsa “Menggagas Pemimpin Berkualitas” yang digelar di Hotel Mercure Surabaya, Rabu (8/3/2017). Pada kesempatan ini, Gus Sholah menyatakan keprihatinan atas kelangkaan integritas kempiniman bangsa.
Kedua, saat Gus Sholah menjadi narasumber “Ngaji Bareng” bersama Cak Nun dan Kiai Kanjeng di PT Petrokimia Gresik, Jumat (22/12/207). Saat itu, Gus Sholah prihatin atas meningkatnya tindakan intoleransi dalam masyarakat. Beliau kemudian menjelaskan pentingnya toleransi dalam kehidupan, dan menjelaskan sejarah toleransi agama Yahudi, Nasrani, dan Islam dalam perjanjian Madinah.
Ketiga, pada acara Seminar Nasional Integrasi Religius dan Nasionalis Menuju Pemilu Damai” di Ponpes Tebu Ireng, Jombang (Rabu (12/12/2018). Saat itu, Gus Sholeh prihatin atas merebaknya berita “hoax”. Beliau berpesan kepada santri untuk tidak ikut menyebarkan berita yang tidak jelas.
Dari tiga peristiwa itu, tercermin bagaimana pikiran dan sikap Gus Sholah sebagai seorang cendekiawan yang selalu gelisah atas tindakan-tindakan tak bermoral dalam kehidupan manusia. Keprihatinan Gus Sholah atas krisis intergritas pemimpin, tindakan intoleran dalam kehidupan bersama dan maraknya penyebaran hoax, selayaknya menjadi peringatan bagi bangsa Indonesia.
Sebagai seorang cendekiawan, pikiran Gus Sholah selalu melampaui waktu ke masa depan. “Ngerti sak durunge winarah”, istilah Jawanya yang artinya “tahu sebelum peristiwa terjadi”. Lebih dari seorang cendekiawan, sebagai seorang kyai, Gus Sholah selalu menyertakan soal moralitas dan harmonisasi kehidupan.
Menjalani hidup di pondok, adalah pilihan Gus Sholah menempuh jalan sunyi. Pilihan yang tentu tak mudah. Sampai kemudian, pada suatu waktu saya pun mengirim pesan ke beliau melalui WA kembali; “Saya bisa membayangkan, Gus Sholah yang sudah nyaman di Jakartadan kemudian balik kampung. Memperbaiki dan memulai semangat baru. Membangun baru. Pasti tak mudah”
Beliau menjawab: “Tapi saya bersyukurdisini bisa melakukan banyak hal positif”. Betapa kaget dan tercengang saya membaca balasan jawab beliau. Saya pikir beliau “tidak kerasan” di kota kecil, dan menempuh jalan sunyi yang jauh dengan gemerlapnya Jakarta. Tetapi ternyata beliau menjalani apa yang beliau hadapinya dengan penuh syukur.
Saya berpikir demikian, karena jika ingin hidup nyaman berkecukupan, Gus Sholah dapat tetap di Jakarta dan bisa saja menolak tawaran untuk memimpin Ponpes Tebu Ireng. Tetapi beliau terima tawaran itu, dan menempuhnya dengan kesungguhan.
Gus Sholah memang hebat. Cendekiawan, sekaligus kyai tanpa tanding. Menurut saya Gus Sholah adalah sang begawan. Orang yang tak lagi memikirkan dirinya sendiri, dan lebih banyak menghabiskan waktunya, pikiran dan enerjinya untuk memproduksi pikiran bagi kebaikan umat manusia
Kini Gus Sholah telah meninggalkan kita semua. Kita tak lagi bisa mendengar tutur bahasanya yang lembut dan santun. Kepergiannya membuat bangsa Indonesia berduka. Karena, sangat mencintainya dan menunggu pikiran arifnya. Tetapi, sesungguhnya Gus Sholah telah meninggalkan banyak pesan agar kita menjawabnya. Tiga persoalan itu adalah soal: krisis integritas kepemimpinan, masalah toleransi dan maraknya penyebaran kabar bohong.
Menjawab pesannya, berarti kita membangun Indonesia menjadi bangsa yang besar. Selamat Jalan Gus Sholah, Selamat Jalan Sang Begawan***
Penulis: Suko Widodo, Dosen Departemen Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Airlangga