Saat orang lain mengerti apa yang ingin dilakukan, terkadang kita malah bingung dengan diri sendiri. Sebenarnya apa yang kita inginkan? Pertanyaan ini sering menghantui mahasiswa semester akhir, dalam fase umur 20-25 tahun. Tidak sadar akan potensi, tidak mengerti apa yang akan dilakukan, padahal sudah banyak pendidikan ditempuh. Enam tahun melewati pendidikan dasar diajari berbagai macam profesi dari kelas tiga SD.
Tapi malah ketika SMP berubah sungguh cita-cita kamu setelah banyak menghadapi rumus kimia dan fisika. Sudah juga melawan keinginan orang tua ketika memilih jurusan sewaktu kelas 12, sial sungguh ketika selesai malah bingung ingin kerja apa. Ada yang merasakan itu? Banyak sekali, tidak hanya kamu. Secara simple itulah yang dinamakan dengan quarter life crisis.
Semakin tua, semakin banyak yang dipikirkan, kondisi quarter-life crisis tidak hanya melulu mengenai pekerjaan. Faktor lainnya adalah tekanan finansial, relasi dan mengenai keyakinan. Kamu siapa, mau apa, dengan siapa dan apakah iya selama ini yang kamu lakukan sudah benar?
Pertanyaan-pertanyaan itu bisa dijawab dengan kuliahmu yang digunakan dengan baik. Apakah benar? Sungguh itu merupakan satu-satunya senjata untuk melawan permasalahan quarter-life crisis. Senjata ampuhnya adalah memaksimalkan kuliah dengan kegiatan-kegiatan yang produktif dan banyak terjun langsung pada sebanyak mungkin sektor pengabdian masyarakat, organisasi dan magang.
Berhitung Mengenai Jam Kuliah dan Belajar
Banyak waktu kuliah, seminggu kita hanya dihadapkan dengan SKS maksimal 24. Marilah berhitung, bilamana setiap mata kuliah di generalisasikan sebagai 3 SKS, maka akan ada sekitar 8 mata kuliah per-minggu. Berapa banyak waktu kosong yang didapatkan dari masa waktu kuliah selama seminggu? Satu SKS katakanlah setara dengan 50 menit kegiatan belajar, maka kita akan belajar hanya 1.200 menit dan itu setara dengan 20 jam belajar selama seminggu.
Dengan tentunya sedikit mengerjakan tugas, proposal dan interaksi produktif bersama dosen. Jauh lebih banyak kegiatan belajar mengajar di Sekolah Menengah Atas daripada bangku kuliah. Jangan sampai kuliah hanya sebatas kegiatan belajar-mengajar, akan sangat banyak waktu terbuang sia-sia. Lakukanlah kegiatan pengabdian masyarakat, sungguh itu akan begitu berguna ketika kalian kembali ke rumah dan bermasyarakat.
Melakukan Kegiatan Pengabdian Masyarakat
Banyak mahasiswa ketika selesai studi-nya di bangku perkuliahan malah bingung untuk terjun dan beradaptasi dengan lingkungannya sendiri. Padahal tujuan dari pendidikan adalah bagaimana dirinya bisa bergaul dan berkontribusi di masyarakatnya. Lekat sekali relasi antara quarter-life crisis dengan ketidakmampuan untuk berinteraksi dan menghadirkan preferensi mana yang harus dipilih usai kuliah.
Ada ribuan masalah di masyarakat untuk dipecahkan oleh sosok mahasiswa, termasuk di dalamnya pembangunan desa tertinggal, birokrasi yang macet dan pembangunan sumberdaya manusia di daerah. Dalam zona quarter-life crisis sangat penting bagi dirimu untuk mendapatkan sebanyak mungkin referensi pekerjaan dan permasalahan sosial. Sehingga kemudian bisa dipetakan, potensi diriku ini sebenarnya dimana, dan jalan yang ditempuh harus seperti apa.
Belajar di masyarakat dalam pengabdian mengajarkan banyak hal, mulai dari pola interaksi dengan masyarakat yang tentunya berbeda dengan sesama mahasiswa. Kemudian belajar untuk peka terhadap kemampuan dirimu dan apa sebenarnya yang kamu inginkan, setiap orang akan melewati fase itu dalam krisis kepercayaan diri.
Merelakan Diri untuk Berorganisasi
Waktu, tenaga, bahkan uang pribadi, merupakan hal yang pasti keluar saat kita memutuskan untuk berorganisasi. Istilah “budak proker”, romusha, anak danusan dan lain sebagainya seringkali disematkan kepada mahasiswa yang memutuskan untuk terjun di dunia organisasi. Tapi tidak mengapa kawan, karena dibalik itu akan banyak lukisan mengenai bagaimana dirimu akan menghadapi kehidupan setelah kampus.
Banyak skill yang tidak didapatkan di kelas justru akan menjadi penyelamat ketika masuk kerja. Tidak ada pembelajaran kemampuan lobbying di kuliah, tidak ada pula pembelajaran untuk menghadapi dan meyakinkan orang lain. Dalam organisasi kamu akan menghadapi banyak orang dengan karakter berbeda, tentu menghadapi seorang pemarah tidak sama dengan menghadapi orang yang lugu.
Quarter-life krisis begitu berkaitan dengan passion-mu, dalam organisasi akan dikenalkan dengan banyak jaringan, orang yang berbeda, pangkat berbeda, dan lingkungan yang mungkin tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Disitu kamu akan mendapatkan referensi, mengenai keinginan, setidaknya bagaimana gambaran pekerjaan dan jaringan di dalam dunia kerja.
Terjun Terlebih Dahulu ke Dunia Kerja dan Magang
Tentu dari semua opsi di atas ada ilusi bahwa ini adalah yang paling efektif untuk mengatasi kegundahan akan pekerjaan. Siapapun yang terjebak dalam ilusi tersebut berarti belum mengalami pekerjaan yang digelutinya ternyata tidak cocok. Namun ini benar-benar cara terbaik dalam memperdalam kemampuan untuk pekerjaan yang diinginkan. Karena banyak sekali ilmu yang didapatkan di kuliah ternyata tidak teraplikasikan dalam dunia kerja.
Maganglah sebanyak mungkin, besarkan kemampuanmu untuk mempersenjatai diri dalam dunia kerja. Tentunya para HRD lebih suka dengan anak yang pernah magang dalam bidang yang dilamar. Ini bukan berarti berorganisasi dan pengabdian masyarakat tidak masuk dalam hitungan, keduanya juga dipertimbangkan benar.
Di tengah banyaknya anak muda yang bingung akan melakukan apa kedepan selepas kuliah, dengan melakukan satu saja diantara tiga hal di atas, kamu akan memiliki pandangan. Orang yang tidak punya pandangan akan masa depannya, berarti belum merencanakan apapun, sedangkan rencana dengan sebatas wacana tanpa mempersenjatai diri dengan berbagai macam kemampuan adalah hal yang bodoh.
Rencanakan hidupmu, susun langkah yang baik, perbanyak relasi, perbanyak pengalaman, niscaya kalian tidak akan lama berada dalam fase quarter-life crisis.
Mas Menteri Nadiem Makarim (Mendikbud) kemarin meluncurkan paket kebijakan 5 semester wajib di kelas dan 3 semester lainnya bebas memilih antara pengabdian masyarakat, magang atau exchange. Baginya ini jalan yang baik untuk mengentaskan problematika siap kerja dan persiapan persaingan dunia digital. Tapi bagi saya, itu adalah sebuah jalan bagi kita untuk meminimalisir quarter-life crisis. Padahal jika tiga hal di atas kita lakukan dengan penuh kesadaran, paket kebijakan seperti yang dikeluarkan Mas Nadiem sebenarnya tidak diperlukan.