Pilihan Mode dan Stres Perjalanan: Bukti Empiris dari Jakarta dan Denpasar

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi perjalanan. (Sumber: otosia)

Lokasi tempat kerja secara administratif berbeda dari kota tempat tinggal, yang dikenal sebagai perjalanan pulang pergi,merupakan suatu fenomena migrasi tenaga kerja yang umum saat ini. Komuter dianggap sebagai alternatif yang lebih dapat diterima daripada migrasi permanen (Wagner & Mulder, 2015).

Individu yang rasional hanya mau menempuh perjalanan lebih lama jika mereka diberi kompensasi. Kompensasi ini dapat berupa perumahan yang lebih baik atau karakteristik pekerjaan yang lebih baik. Di sisi lain, pulang pergi memiliki biaya peluang. Terjadinya terjebak dalam kemacetan atau menunggu kereta / bus yang tertunda dapat dipahami sebagai kesulitan dan cukup lazim. Stres adalah salah satu implikasi dari perjalanan pulang pergi yang buruk dalam kesehatan mental.

Keberadaan komuter tidak terlepas dari sistem transportasi. Sebagaian besar dari penggunaan transportasi pribadi dan kebijakan publik lainnya di Indonesia, seperti kebijakan subsidi bahan bakar, berkontribusi pada sistem transportasi yang kurang berkelanjutan. Tidak mengherankan jika kemacetan adalah masalah utama transportasi perkotaan di Indonesia.

Solusi saran yang dilakukan di perkotaan Indonesia umumnya ditandai dengan adanya jalan tol berbayar, alih-alih menyediakan transportasi massal yang terjangkau. Solusi ini cenderung mempercepat peningkatan jumlah kepemilikan mobil pribadi di kota-kota Indonesia, terutama mobil. Penelitian ini, oleh karena itu, menyelidiki efek perjalanan dengan mode mobil pada kesehatan mental penumpang.

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data hasil Survei Komuter Jabodetabek 2014 dan Sarbagita Commuter 2015 digunakan untuk mempelajari hubungan sebab akibat antara stres komuter dan (i) karakteristik perjalanan seperti pilihan mode, waktu perjalanan, jarak tempuh, jarak tempuh dan sebagai pengemudi / penumpang; dan (ii) karakteristik sosial ekonomi.

Studi ini juga menjelaskan bagaimana tekanan dirasakan di Jabodetabek, kutub pertumbuhan yang memiliki berbagai pilihan mode publik tetapi impedansi lebih tinggi, serta di Sarbagita, kutub pertumbuhan yang memiliki lebih sedikit pilihan mode publik dengan impedansi lebih rendah. Studi ini berfokus pada sampel yang bepergian hanya selama jam sibuk karena mempertimbangkan fakta bahwa kebijakan transportasi didasarkan pada kondisi jam sibuk.

Memahami keragaman dalam faktor penentu stres perjalanan dapat membantu merumuskan kebijakan yang bertujuan untuk membuat sistem transportasi lebih nyaman dan ramah pengguna. Dari data yang didapatkan kemudian dianalisis dengan menggunakan multiple regression logistic  untuk memperkirakan efek karakteristik perjalanan dan karakteristik individu terhadap pengurangan tekanan.

Hasil penelitian ini  menemukan bahwa stres perjalanan hampir tidak terpengaruh oleh karakteristik sosial ekonomi dan demografi. Variabel gender adalah satu-satunya yang memiliki pengaruh signifikan terhadap stres perjalanan. Namun, variabel gender hanya memengaruhi stres komuter di kutub pertumbuhan impedansi tinggi. Pilihan mode, baik di kutub pertumbuhan tinggi dan impedansi rendah, berkontribusi positif untuk mengurangi stres.

Beberapa saran kebijakan muncul dari temuan kami. Sebagaimana dijelaskan di atas, solusi untuk kemacetan yang sering diterapkan di Indonesia adalah pembangunan jalan tol. Setidaknya akan ada penambahan 254 km jalan tol dari panjang yang ada 226 km di Jabodetabek yang akan ditargetkan pada tahun 2020 dengan investasi hampir 70 triliun rupiah (Badan Pengatur Jalan Tol, 2019). Jalan Tol hanya untuk kendaraan dengan minimum empat roda, yang berarti hanya mobil dan truk yang dapat menggunakannya. Pembangunan jalan tol semakin meningkatkan jumlah penggunaan mobil di perkotaan Indonesia.

Hasil dari penelitian ini penting untuk menunjukkan bahwa kebijakan pengembangan jalan tol tidak efektif untuk mengatasi kemacetan dan kebijakan ini telah berdampak buruk pada kesehatan mental masyarakat. Di sisi lain, penambahan cakupan layanan angkutan umum, terutama angkutan umum massal, adalah hal yang mutlak dilakukan agar tidak terjadi stres dalam perjalanan. Perusahaan bus setidaknya harus membuat inovasi layanan yang dapat memberikan informasi yang lebih baik kepada pengguna, seperti informasi kedatangan bus yang akurat, seperti yang telah dilakukan oleh layanan kereta api.

Selain mereplikasi temuan dengan desain penelitian yang lebih kuat dan sampel yang lebih baik, beberapa perangkat tambahan lain dalam penelitian ini diperlukan. Selain masalah ukuran sampel yang tidak seimbang antara mode, tingginya tingkat homogenitas dalam jenis kelamin sampel kami mungkin menjadi perhatian. Mempertimbangkan April – Mei di Indonesia umumnya bukan musim dengan cuaca buruk, penelitian di masa depan perlu dilakukan dalam jangka waktu yang lebih lama yang memungkinkan fluktuasi cuaca. Peningkatan tersebut diharapkan lebih tepat dan mewakili efek dari kondisi cuaca yang berbeda.

Penulis: Dyah Wulan Sari

Informasi detail dari laporan kasus ini dapat dilihat pada tulisan kami di:

https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/jpk/article/view/4676

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).