Kebijakan divestasi saham di sektor pertambangan Indonesia masih menyimpan permasalahan utama, yaitu mengenai harga saham divestasi seharusnya ditetapkan. Regulasi mengenai divestasi saham yang masih bermasalah ini menimbulkan beberapa dampak negatif. Dari kasus divestasi saham PT Newmont Nusa Tenggara (PT NNT) dan yang terakhir divestasi PT Freeport Indonesia, dapat diambil beberapa pelajaran penting. Pertama, Pemerintah Indonesia selalu terlambat dalam melakukan pembelian atau pelaksanaan divestasi. Jadwal periode divestasi yang sudah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan seringkali dilewati. Kedua, meskipun divestasi dilakukan seringkali Pemerintah Indonesia kesulitan untuk mendapatkan pendanaan pembelian saham divestasi. Ketiga, bahkan jika dana divestasi berhasil didapatkan, maka divestasi dilakukan melalui proses sindikasi dengan uang dari pinjaman dari pihak ketiga (dalam divestasi saham PT NNT, peserta Indonesia meminjam kepada pihak asing). Ketiga permasalahan di atas terjadi dalam divestasi PT NNT.
Permasalahan yang hampir sama juga terulang di kasus divestasi saham PT Freeport Indonesia. Namun, saat ini kesulitannya bertambah tinggi karena divestasi ini dikaitkan dengan negosiasi perpanjangan konsesi PT Freeport Indonesia sampai dengan 2041, kewajiban mendirikan smelter dan permintaan stabilisasi perpajakan. Namun, pada prinsipnya permasalahannya masih tetap sama dengan kasus sebelumnya. Pertama, pemerintah terlambat menjalankan divestasi, karena berdasarkan Kontrak Karya 1991 seharusnya divestasi 51% saham sudah selesai pada tahun 2021. Kedua, pemerintah tidak memiliki bargaining position yang kuat dalam menentukan harga dari saham yang akan didivestasikan. Ketiga, harga yang ditawarkan oleh PT Freeport Indonesia dirasa sangat tinggi dan sulit bagi pemerintah maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk dapat melakukan pembelian saham.
Tulisan ini menunjukkan bahwa sengketa penentuan harga saham divestasi dan potensi kerugian antara negara dan investor asing bukanlah hal yang tidak biasa. Dari beberapa kasus yang terjadi, pemerintah dan investor asing seringkali berbeda pendapat mengenai bagaimana menghitung harga saham ataupun nilai perusahaan, atau pada saat izin usaha dicabut. Namun, sayangnya praktik dan putusan pada International Centre for the Settlement of Investment Disputes (ICSID) belum menunjukkan keseragaman. Majelis arbitrase mengambil pendekatan yang berbeda-beda. Namun setidaknya, pemeirintah Indonesia dapat mengambil pelajaran dari kasus-kasus terdahulu.
Teori yang ditemukan dan dapat digunakan Pemerintah dalam dalam pengambilan keputusan divestasi saham pertambangan minerba adalah Public Choice Theory (PCT) dan Rational Choice Theory (RCT). Penerapan PCT dalam kebijakan divestasi saham adalah mengambil keputusan yang akan bermanfaat bagi masyarakat luas dengan tidak mengubah kebijakan divestasi saham namun menentukan mekanisme yang lebih jelas tentang penentuan harga saham divestasi, sehingga manfaat dari kebijakan tersebut akan sama-sama terdistribusi secara luas terhadap masyarakat. Sedangkan RCT menjadi dasar bawasanya pemerintah dalam pengambilan kebijakan investasi harus membawa keuntungan yang sebesar-besarnya bagi host country, baik dari segi ekonomi dan sosial. Apabila setelah dilakukan pertimbangan dan menghasilkan penilaian bahwa kebijakan divestasi saham dengan cara dibeli sesuai dengan harga pasar tidak memberi manfaat yang besar bagi negara dan cenderung merugikan negara, maka pemerintah harus mengubah kebijakan divestasi saham, khususnya dalam menentukan harga saham. Untuk mendukung argumentasi dalam pengambilan keputusan dengan menggunakan PCT dan RCT, prinsip yang ditemukan dan digunakan dalam skema divestasi saham pertambangan minerba adalah prinsip kedaulatan negara, prinsip Sovereignty Over Natural Resources (SONR) dan Prinsip Perlindungan Keseimbangan Kepentingan (PPKK).
Terdapat tiga alternatif bagi mekanisme divestasi di sektor pertambangan, yaitu: Alternatif pertama, menentukan mekanisme yang lebih jelas tentang penentuan harga saham divestasi. Terdapat empat metode dalam penentuan harga saham divestasi. Metode pertama, rekomendasi yang diberikan oleh NRGI dalam hasil penelitiannya bahwa Pemerintah Indonesia dapat mengikuti aturan penilaian internasional yang berbeda dalam setiap kasus-kasus yang ada. Beberapa negara penghasil mineral telah memiliki aturan baku dan rinci terkait valuasi aset pertambangan seperti VALMIN, CIMVAL dan SAMVAL. Dengan menerapkan salah satu aturan internasional ini dimungkinkan akan mengurangi potensi konflik antar berbagai pihak terkait dan mengurangi ketidakpastian dalam penentuan harga saham divestasi sektor pertambangan. Metode kedua, merujuk pada standar yang diterapkan oleh ICSID dalam kasus CMS Gas v. Argentina, Pemerintah Indonesia dan PT Freeport Indonesia dapat mempertimbangkan metode Discounted Cash Flow (DCF), dimana DCF adalah metode penilaian aset perusahaan yang dilakukan dengan cara menentukan present value dari prediksi arus kas di masa depan yang didiskon pada angka (discounted at a rate) yang mencerminkan berbagai macam kategori resiko dan ketidakpastian.
Metode ketiga, kasus Rusoro v. Venezuela, majelis arbitrase memutuskan untuk mengkombinasikan tiga metode penilaian, yakni maxiumum market valuation; book valuation; dan adjusted investment valuation dalam menentukan nilai sesungguhnya (genuine value) dari investasi yang dilakukan oleh Rusoro di Venezuela. Apa yang diterapkan oleh arbitrase dalam kasus Rusoro v. Venezuela di atas juga dapat diterapkan sebagai solusi bagi Pemerintah Indonesia dalam menentukan harga saham divestasi. Metode keempat, dalam kasus divestasi saham Freeport, Pemerintah Indonesia dan PT Freeport Indonesia dapat menerapkan gabungan pendekatan penentuan harga saham divestasi menurut masing-masing pihak, yakni pendekatan replacement cost dari Pemerintah Indonesia dan pendekatan fair market value dari PT Freeport Indonesia. Setelah itu didapatkan nilai tengah dari gabungan pendekatan di atas yang dapat digunakan sebagai acuan harga saham divestasi.
Alternatif kedua, adalah mengubah aturan divestasi saham dengan memberlakukan dan memaksimalkan skema royalti. Pelaksanaan ketentuan wajib divestasi saham tidak mudah untuk dilakukan. Tulisan ini merekomendasikan bahwa aturan divestasi sebaiknya diganti dengan mekanisme lain. Tujuan utamanya adalah untuk memenuhi cita-cita Bangsa Indonesia yang tercantum dalam UUD NRI 1945, yakni agar penguasaan sumber daya di wilayah NRI berada di tangan bangsa sendiri sehingga masyarakat dapat mengambil manfaat secara langsung dari penguasaan sumber daya tersebut. Semestinya Indonesia dapat memaksimalkan penerimaan hasil tambang melalui royalti. Besaran tarif royalti dan peningkatannya dapat diatur dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini akan lebih mudah prosesnya dibandingkan dengan divestasi saham yang memerlukan proses penentuan harga saham divestasi.
Alternatif ketiga adalah divestasi saham tanpa pembelian, yang diperjanjikan pada awal pemberian izin. Pelaksanaan divestasi saham akan sangat sulit dilaksanakan mengingat bahwa baik Pemerintah Indonesia maupun perusahaan PMA di sektor pertambangan tidak kunjung mencapai kesepakatan dalam menentukan harga saham divestasi yang sesuai dengan kepentingan masing-masing pihak. Oleh karena itu, divestasi sebaiknya diatur di awal pemberian Izin Usaha sebagai kewajiban langsung tanpa kompensasi finansial apapun. Pelaku usaha sektor pertambangan dapat melakukan penilaian kelayakan usaha dengan ketentuan divestasi langsung ini. Pelaku usaha dapat mempertimbangkan apakah investasi yang dilakukan akan menguntungkan atau tidak pada saat awal rencana operasi kegiatan usaha pertambangan dilakukan, termasuk dengan menghitung biaya (cost) yang timbul dengan kewajiban divestasi langsung ini.
Untuk melindungi kepentingan nasional dan demi kepastian hukum, Pemerintah diharapkan dengan segera menentukan dan membuat aturan hukum yang secara teknis mengatur mengenai mekanisme yang lebih jelas tentang penentuan harga saham divestasi. Alternatif lainnya, Pemerintah juga dapat melakukan legal reform dengan mengubah aturan divestasi saham dengan memberlakukan dan memaksimalkan skema royalti, atau memberlakukan divestasi saham tanpa pembelian, yang mana divestasi diatur di awal pemberian ijin usaha sebagai kewajiban langsung tanpa kompensasi finansial apapun. Pengaturan terkait divestasi juga harus diikuti dengan pemberian sanksi yang tegas kepada investor asing.
Penulis: Widhayani Dian Pawestri, Muchammad Zaidun, Iman Prihandono, Mas Rahmah
Informasi detail dari tulisan ini dapat dilihat dalam Jurnal Scopus berikut:
Rational Choice Theory In The Scheme Of Mining Shares Divestment Based On National Interest Protection International Journal Of Innovation, Creativity And Change Volume 5, Issue 2, Special Edition, August, 2019, Page 378 P-Issn/E-Issn: 22011323, 22011315 Primrose Hall Publishing Group
https://www.ijicc.net/index.php/ijicc-editions/2019/37-vol-5-iss-2-part-2
https://www.ijicc.net/images/Vol5iss2_/25_Pawestri_P378_2019R.pdf