Benign Prostate Hyperplasia (BPH) adalah tumor jinak prostat yang terjadi pada pria. Menurut penelitian sebelumnya, kejadian BPH meningkat seiring usia, hal ini ditunjukkan melalui data pervalensi kejadian 20% pada usia 41-50, 50% pada usia 51-60, 65% pada usia 61-70, 80% pada usia 71-80, dan 90% pada usia 81-90.
Retensi urin adalah suatu kondisi ketika seseorang tidak dapat buang air kecil meskipun kandung kemihnya telah mencapai kapasitas maksimum. Kondisi ini dapat disebabkan oleh banyak penyakit, salah satunya adalah BPH. Retensi urin dapat diklasifikasikan melalui banyak aspek, berdasarkan durasinya (akut atau kronis), gejala (dengan nyeri atau tidak nyeri), mekanisme (obstruksi atau non-obstruksi), urodinamik (tekanan tinggi atau tekanan rendah), dan kemampuan pasien untuk berkemih (lengkap atau sebagian). Retensi urin akut atau acute urine retention (AUR) diketegorikan sebagai keadaan darurat dalam urologi sehingga membutuhkan perawatan segera. Manajemen AUR biasanya dilakukan melalui operasi atau kateterisasi jangka panjang. Terapi AUR lainnya yang memiliki tingkat keberhasilan yang baik juga murah yaituTrial Voiding Without Catheter (TWOC). Terapi ini biasanya dilakukan bersamaan dengan pengobatan BPH pasien. Jika keberhasilan TWOC dapat diprediksi, terapi pasien kedepannya juga akan dapat diketahui lebih awal. Modalitas yang mungkin dapat memperkirakan keberhasilan ini adalah volume urin selama retensi. Penelitian sebelumnya memperoleh nilai cut-off 500 ml, sementara itu, penelitian lain menyatakan bahwa retensi kurang dari 1000 ml berhubungan dengan keberhasilan TWOC.
Sementara itu, hubungan antara parameter urodinamik dengan hasil terapi dan perbaikan gejala AUR masih kontroversial. Oleh karena itu, diperlukan penelitian untuk mencari modalitas diagnostik lain yang mudah, cepat, dan non-invasif untuk memprediksi hasil TWOC. Modalitas yang mungkin dapat digunakan adalah deteksi ketebalan otot detrusor atau detrusor wall thickness(DWT) dan penonjolan intravesikal prostat (intravesical protrusion of prostate atau IPP) yang diperoleh menggunakan ultrasonografi transabdominal.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi apakah keberhasilan TWOC pada pasien yang menderita AUR karena BPH dapat diprediksi melalui pemeriksaan volume retensi urin, ketebalan dinding otot detrusor (DWT) dan penonjolan intravesikal prostat(IPP). Responden dari penelitian ini adalah 24 pasien yang datang ke ruang gawat darurat, Poli Klinik Urologi dan Instalasi Invasif Minimal Urologi (IIU) Rumah Sakit Dr. Soetomo akibat retensi urin akut yang disebabkan oleh BPH dan oleh karenanya menjalani TWOC. Kriteria inklusi meliputi: usia 50 atau lebih, dirawat di rumah sakit untuk pertama kalinya karena BPH, dan menjalani kateterisasi per uretra. Responden akan dikeluarkan dari penelitian ini jika salah satu dari kriteria eksklusi ini terpenuhi: mengalami retensi urin berulang, mengonsumsi α-bloker atau 5α-reduktase dalam 2 minggu terakhir, dan adanya kondisi patologis lain selain BPH. Responden akan mendapatkan pemeriksaan volume urin selama retensi (pengukuran urin awal saat dipasang kateter), ketebalan dinding otot detrusor (DWT), dan penonjolan intravesikal prostat(IPP). TWOC dinyatakan berhasil jika setelah kateterisasi, pasien dapat buang air kecil secara spontan ≤ 6 jam serta hasil pemeriksaan ultrasonografi dan uroflowmetri yang menunjukkan sisa urin paska berkemih (post void residual urine atau PVR) <100 ml dan Q> 10 ml / detik.
Setelah penelitian ini dilakukan, kami medapati keberhasilan TWOC pada 13 (54,2%) pasien, sementara 11 (45,8%) pasien sisanya tidak berhasil. Rata-rata, pasien yang berhasil diterapi dengan TWOC memiliki volume prostat yang lebih rendah dan ketebalan otot detrusor yang lebih tipis secara signifikan. IPP pada pasien dengan terapi TWOC yang suksesjuga cenderung berada padastadium 1 atau 2, sedangkan pasien yang TWOCnya tidak berhasil cenderung memiliki IPP stadium 3. Tidak ditemukan perbedaan volume urin rata-rata pada awal terapi dan selama retensi pada kedua kelompok.
Data yang diperoleh diuji dengan menggunakan uji korelasi Spearman dan hasilnya menunjukkan bahwa ada korelasi yang signifikan antara ketebalan otot detrusor dengan keberhasilan TWOC. Hasil ini juga menunjukkan bahwa peningkatan ketebalan otot detrusor berhubungan dengan tingkat keberhasilan TWOC yang lebih kecil. Tingkat IPP juga terbukti memiliki korelasi yang kuat dengan tingkat keberhasilan TWOC. Regresi logistik menunjukkan bahwa setiap kenaikan 1 derajat pada stadium IPP cenderung memiliki tingkat keberhasilan TWOC 50,3% lebih rendah. Dengan kata lain, penurunan 1 stadium IPP akan meningkatkan peluang sukses TWOC sebesar 2,01 kali. Selain itu, hasil uji statistik Wald menunjukkan bahwa IPP memiliki korelasi dengan obstruksi prostat, yang mana semakin tinggi derajat IPP, semakin berat pula derajat obstruksi, sehingga berdampak pada tingkat keberhasilan TWOC yang lebih rendah. Namun, hasil tes juga menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara volume urin selama retensi dan keberhasilan TWOC.
Sebagai kesimpulan, volume urin selama retensi tidak dapat digunakan sebagai prediktor untuk mengamati tingkat keberhasilan TWOC. Selain itu, berdasarkan analisis, DWT dan IPP juga merupakan prediktor yang cocok untuk mengamati tingkat keberhasilan TWOC. Derajat / stadium IPP juga dapat memengaruhi hasil TWOC.
Penulis: Prof Dr Soetojo, dr, SpU(K)
Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:
http://www.indianjournals.com/ijor.aspx?target=ijor:ijphrd&volume=10&issue=4&article=239 Kurniasari Dian, Budiono, Tarmono, Hardjowijoto, Soetojo. Predicts the Successfulness of a Trial Voiding Without Catheter (TWOC) Through Urine Retention Volume, Detrusor Wall Thickness (DWT) and Intravesical Protrusion of Prostate (IPP) on Acute Urinary Retention (AUR) Patients Due to Benign Prostatic Hyperplasia (BPH). Indian Journal of Public Health Research & Development. 2019;10(4):1308-1314
DOI : 10.5958/0976-5506.2019.00893.3