Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum menyatakan bahwa salah satu dari prinsip yang mendasari pengadaan tanah untuk pembangunan demi kepentingan umum adalah Prinsip Kesepakatan. Menurut ketentuan undang-undang ini yang dimaksud Prinsip Kesepakatan yaitu proses pembebasan lahan dilakukan oleh musyawarah para pihak tanpa unsur paksaan untuk mendapatkan persetujuan bersama. Undang-undang ini tidak memberikan definisi tentang musyawarah.
Definisi musyawarah tercantum dalam Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah untuk Implementasi Pembangunan untuk Umum, yang kemudian diubah dengan Peraturan Presiden No. 65 tahun 2006. Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 dalam Pasal 1 angka 10 menyatakan bahwa musyawarah adalah kegiatan yang memuat proses saling mendengarkan, saling memberi, dan saling menerima pendapat, dan keinginan untuk mencapai kesepakatan tentang bentuk dan jumlah kompensasi dan masalah lainnya yang terkait dengan kegiatan pembebasan lahan atas dasar sukarela dan kesetaraan antara pihak yang memiliki tanah, bangunan, tanaman, dan benda lain yang terkait dengan tanah, dengan pihak-pihak yang membutuhkan tanah.
Dengan demikian, dapat dikatakan “musyawarah” jika memuat unsur sebagai berikut: pertama, bahwa untuk memperoleh kesepakatan bersama tidak boleh ada unsur paksaan; kedua, atas dasar sukarela dan kesetaraan di antara para pihak.
Pelanggaran Aspek Kesepakatan dalam Pengadaan Tanah
Dalam praktiknya, sering ada ketidaksepakatan mengenai jumlah kompensasi dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Misalnya dalam kasus pembebasan lahan untuk Kanal Banjir Timur di Jakarta, ketidakadilan terjadi pada nilai kompensasi. Di dalam hal ini Panitia Pengadaan Tanah menolak pembahasan kompensasi, hanya dengan mensosialisasikan pembebasan lahan dan tawaran kompensasi satu kali. Dalam kasus tersebut tidak ada musyawarah antara panitia dan subyek hukum yang terdampak, juga tidak ada kesepakatan nilai kompensasi.
Kasus lain yang juga menunjukkan hal yang sama adalah kasus pembebasan lahan Jalan Tol Jombang, Jawa Timur. Dalam hal ini, terdapat penetapan besarnya ganti rugi yang sepihak dan penegakan yang tidak adil, mulai memaksa harga, melanggar konsentrasi pemilik tanah, lubang, intimidasi dan teror. Tidak ada kejelasan tentang rincian objek kompensasi, klasifikasi dan harga satuan. Demikian pula, pada tahap pembebasan lahan, banyak mekanisme yang tidak diimplementasikan, termasuk musyawarah untuk mufakat.
Dalam kasus akuisisi tanah untuk perluasan Bandara Syamsudin Noor di Banjarbaru, juga tidak ada kesepakatan tentang jumlah harga kompensasi. Dalam kasus pembebasan lahan untuk pelebaran jalan di jalan Veteran Banjarmasin pun mengalami hal yang serupa. Hal tersebut merupakan contoh dari beberapa pelanggaran yang dilakukan oleh panitia pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Dalam hal ini musyawarah untuk mendapatkan kesepakatan tidak dilakukan dengan benar.
Hal yang menjadi masalah lainnya yaitu, UU No. 2/2012 menggunakan lembaga konsinyasi yakni penitipan di pengadilan yang mengadopsi ketentuan dalam Burgerlijk Wetboek. Berikut ini adalah beberapa contoh kasus pembebasan lahan yang berakhir dengan konsinyasi diPengadilan, di antaranya: kasus proyek jalan tol Semarang-Solo, di Kabupaten Semarang; kasus pembebasan lahan Tol Jombang; kasus Surip mendarat di Jalan Karya Jasa, Medan; kasus konsinyasi di Pengadilan Negeri Lubuk Pakam tentang pengiriman kasus proyek Kuala Namu Airport di Kabupaten Tanjung Balai; kasus perluasan kantor walikota di Tanjung Balai.
Dari tahapan pembebasan lahan sebagaimana disebutkan di atas, yang terkait dengan prinsip kesepakatan ini adalah pada tahap persiapan untuk pembebasan lahan dan pada tahap implementasi pembebasan lahan. Pada tahap persiapan diperlukan persetujuan pada saat Konsultasi Publik. Menurut Pasal 19 UU No. 2/2012 Konsultasi Publik dilakukan untuk mendapatkan persetujuan atas lokasi rencana pengembangan dari pihak yang berhak. Kesepakatan didapat dari Konsultasi Publik diuraikan dalam bentuk Risalah Kesepakatan (Pasal 19 ayat 4 UU No. 2/2012).
Meskipun UU No. 2/2012 menganut prinsip kesepatan, tetapi dalam penerapannya terdapat penyimpangan dari prinsip kesepakatan itu sendiri. Ketentuan Pasal 66 ayat (4) Peraturan Presiden 71/2012 yang menentukan musyawarah untuk mencapai persetujuan hanya untuk bentuk kompensasi, bertentangan dengan ketentuan Pasal 37 ayat (1) dan (2) UU No. 2/2012 yang menentukan musyawarah untuk menentukan bentuk dan / atau jumlah kompensasi.
Oleh karena itu, dalam menentukan bentuk dan / atau jumlah kompensasi dalam UU 2/2012 menganut prinsip kesepakatan, sehingga pembebasan lahan harus dilakukan melalui pelepasan hak atau penyerahan hak atas tanah dengan prinsip musyawarah untuk mencapai mufakat. Jika tidak ada kesepakatan, maka tidak ada konsinyasi atau setoran kompensasi dapat dilakukan ke pengadilan. Sebab konsep kompenasi tidak cocok diterapkan dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
Penulis: Sri Hajati
Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di: http://dx.doi.org/10.20473/ydk.v34i2.12641