Reorganisasi kerap menjadi ajang yang cukup seru mulai dari tingkat sekolah dasar hingga tingkat negara. Segala harapan dan janji-janji terucapkan pada proses ini baik oleh para kandidat calon pengisi kedudukan maupun dari mereka yang kepentingannya terpengaruh oleh kedudukan itu sendiri. Pengaturan komposisi personil merupakan hal yang penting untuk dipikirkan matang-matang demi kelancaran jalannya organisasi. Ibarat motor, jika salah satu komponennya kurang sesuai, maka akan tidak enak rasanya jika dikendarai. Namun demikian, dalam tingkat yang memiliki cangkupan besar seperti misalnya sebuah negara, terkadang tiap komponen’dijual terpisah’ dan harus ‘dipasang’ demi mengakomodir kepentingan banyak pihak. Meskipun begitu, keserasian dan kesatuan dalam menjalankan tujuan organisasi selalu menjadi tuntutan pasti. Selain agar organisasi tersebut tetap dapat dijalankan, kepercayaan khalayak yang terdampak juga menjadi taruhan.
Proses reorganisasi pun bermacam-macam, ada yang ditunjuk, dipilih berdasarkan suara terbanyak, bahkan diwarisi. Suasananya juga beragam, ada yang tenang dan penuh toleransi, ada yang penuh semangat dalam berkontestasi. Namun sayangnya juga ada yang panas diliputi caci maki. Semua itu berdasarkan sifat dan kesepakatan yang berlaku dalam organisasi itu sendiri. Sebagai contoh proses reorganisasi dalam negara diatur oleh Undang Undang Dasar 1945 beserta peraturan-peraturan yang menyertainya. Reorganisasi Himpunan Mahasiswa diatur oleh Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) yang telah ditetapkan berdasarkan musyawarah mahasiswa. Pun pemilihan pengurus arisan ibu-ibu PKK dilakukan berdasarkan kesepakatan bersama.
Kesepakatan dalam hal ini menjadi hal yang krusial dalam menentukan atmosfer organisasi pada kepengurusan periode selanjutnya. Kesepakatan yang dilandaskan nilai-nilai luhur dan berorientasi pada masa depan yang cemerlang bagi semua pihak akan membawa kestabilan dan atmosfer positif dalam organisasi tersebut. Namun, jika kesepakatan yang dibuat hanya berdasarkan kepentingan golongan atau segelintir para pembuat kesepakatan, maka bisa dikatakan penindasan oligarki tengah terjadi dan dampaknya tentu sudah dapat ditebak. Bagi mereka yang diuntungkan tentu akan semakin rakus memanfaatkan. Bagi mereka yang dirugikan kenestapaan akan terus menyelimuti. Memang ada kemungkinan lahirnya jiwa-jiwa yang pemberontak, namun akankah kuat untuk mendobrak oligarki? Mungkin iya mungkin juga tidak. Yang jelas, atmosfer organisasi menjadi tidak stabil.
Untuk itu, proses reorganisasi yang baik sangat diperlukan. Definisi baik memang sangatlah luas. Baik dalam prosesnya diartikan pemilihan tiap kandidat dilakukan seadil mungkin. Penempatannya pun harus tepat sesuai kapasitas kandidat. Jika kandidat dipilih sesuai suara terbanyak, pemilih punya andil dalam hal ini. Untuk mendapatkan kandidat yang baik, maka diperlukan pemilih yang baik pula. Memilih secara objektif dan lepas dari segala intervensi yang tidak sehat entah itu “sogokan uang” ataupun “bagi-bagi proyekan”. Jika dalam pemilihan terdapat panitia, panitia juga punya andil dalam hal ini. Independensi panitia diuji tatkala menghitung suara. Jika goyah, tak heran istilah “democracy for sale” yang diungkapkan oleh Prof. Emil Salim, dosen pasca sarjana UI, akan terjadi. Jika ditelusuri lagi, kesepakatan atau peraturan beserta penegakannya juga punya andil. Peraturan yang banyak celah ataupun penegakan peraturan yang tidak tegas tentu akan menimbulkan masalah. Kompleksitas seperti inilah yang kerap menjadi celah praktik-praktik gelap untuk merebut kursi kepengurusan.
Jika calon kandidat itu sendiri memiliki kemampuan yang mumpuni, maka tak perlu lagi melakukan praktik-praktik yang tidak dibenarkan. Hal yang sama berlaku saat pengaturan komposisi organisasi, jika kapasitas tiap personil ditempatkan sesuai tuntutan kinerjanya, maka setidaknya organisasi akan berjalandengan baik, lebih-lebih akan menoreh berbagai prestasi dan kemajuan. Mantan menteri kelautan kita, Ibu Susi Pudjiastuti, pernah berkata “Kombinasi semangat bekerja dan komitmen pada diri sendiri, komitmen pada bangsa, dan komitmen pada masyarakat akan menjadikan kita manusia yang berarti”. Kata-kata tersebut ditambah dengan apa-apa yang telah beliau lakukan selama menjadi menteri menunjukkan betapa dedikasi amat diperlukan dalam menjalankan peran dalam sebuah organisasi.
Dedikasi yang tinggi demi kepentingan umum dan tidak hanya berorientasi pada kedudukandan gaji membuat kinerja akan lebih produktif. Apapun perannya dalam sebuah organisasi jika dilakukan dengan penuh dedikasi, maka kestabilan organisasi akan tercapai. Misalnya kedudukan office boy di sebuah perusahaan jika diisi oleh orang yang tidak bisa atau mungkin setengah hati membersihkan kantor, tentu kondisi kantor akan berantakan dan mengganggu kinerja pegawai yang akhirnya akan menghambat perkembangan perusahaan. Belum lagi jika office boy tersebut meminta gaji dan fasilitas yang cukup tinggi, maka tentu akan semakin merugikan perusahaan. Untuk itu, masih banyak dibutuhkan orang-orang yang berdedikasi di setiap organisasi kehidupan. Entah itu organisasi arisan ibu-ibu PKK, pengurus kelas, organisasi mahasiswa, maupun pemerintahan negara ini. Yang bisa dilakukan adalah menjadi salah satunya. Mungkin itu!