Selama periode September 2013 hingga awal Januari 2014 tercatat bahwa dampak dari penyalahgunaan minuman beralkohol di Jawa Timur telah menewaskan 34, tidak termasuk jumlah korban yang harus dirawat di rumah sakit. Sebagai respons atas masalah ini, Kepolisian Daerah Jawa Timur telah membentuk Tim Khusus untuk menangani kasus penyalahgunaan minuman beralkohol.
Berbagai peristiwa yang muncul akibat penyalahgunaan minuman beralkohol telah mengganggu ketertiban umum dan ketenangan masyarakat serta telah membahayakan kesehatan karena mengandung zat yang berbahaya bagi kesehatan manusia.
Untuk menyelesaikan masalah penyalahgunaan minuman beralkohol di Jawa Timur, Pemerintah Provinsi Jawa Timur telah memberlakukan kebijakan dan pengawasan terhadap maraknya peredaran beralkohol melalui pengesahan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 6 Tahun 2014 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol dan Peraturan Gubernur Provinsi Jawa Timur No. 66 tahun 2018 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 6 Tahun 2014 tentang tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol.
Kewenangan Pengendalian dan Pengawasan Peredaran Miniman Beralkohol oleh Pemerintah Daerah
Philipus M Hadjon menyatakan bahwa otonomi daerah merupakan kewenangan untuk membentuk pengaturan kewenangan dan pembentukan asas, serta prosedur dalam menjalankannya. Karena itu, dengan adanya otonomi daerah, pemerintahan daerah diberikan kewenangan untuk membentuk Perda yang berfungsi sebagai norma hukum dalam pelaksanaan otonomi daerah.
Beberapa alasan yang dijadikan dasar pertimbangan atas pembentukan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 6 Tahun 2014 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol adalah:
- Belum adanya peraturan perundang-unadangan di tingkat Provinsi Jawa Timur yang mengatur mengenai pengendalian minuman beralkohol secara komprehensif sebagai upaya menjaga kententraman dan ketertiban masyarakat Jawa Timur.
- Belum adanya pengaturan mengenai tata cara perizinan penjualan minuman berlakohol yang menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi.
- Belum adanya pengaturan mengenai tata cara penerbitan Rekomendai penerbitan izin produksi dan izin penjualan minuman berlakohol yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat yang memerlukan rekomendasi Pemerintah Provinsi.
- Belum adanya pengaturan mengenai perizinan dan peredaran minuman beralkohol produksi tradisional yang akhir-akhir ini banyak menimbulkan permasalahan.
- Belum adanya pengaturan mengenai pengendalian peredaran minuman beralkohol dengan membatasi tempat-tempat tertentu melalui cara penjualan langsung atau eceran.
- Belum adanya pengaturan mengenai larangan penjualan minuman beralkohol dalam batas-batas tertentu bagi pemegang izin penjualan minuman beralkohol.
- Belum adanya pengaturan mengenai larangan mengonsumsi minuman yang dicampur dengan bahan berbahaya atau dalam masyarakat akrab dikenal dengan istilah “minuman oplosan”. Larangan ini harus disertai dengan sanksi pidana yang tegas bagi pembuat dan peminumnya, sehingga dapat menimbulkan efek jera.
Untuk mampu mengalisis kebijakan pengawasan Pemerintah Provinsi Jawa Timur atas maraknya peredaran miniman beralkohol, maka penelitian ini menggunakan tipe penelitian normatif yang mengalisis ketentuan-ketentuan dalam hukum positif dan prinsip-prinsip hukum yang secara sistematis menjelaskan mengenai permasalahan penyalahgunaan minuman beralkohol di Jawa Timur.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan pengendalian dan pengawasan peredaran minuman beralkohol dilakukan melalui pemberian rekomendasi penerbitan izin produksi dan izin penjualan minuman berlakohol yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat yang memerlukan rekomendasi Pemerintah Provinsi dan melalui instrumen perizinan bagi distributor, sub-distributor, pengecer dan penjual secara langsung. Siapa pun yang melanggar ketentuan perizinan dalam usaha peredaran dan/atau penjualan minuman beralkohol dikenakan sanksi administratif. Untuk Pemegang Surat Izin Usaha Perdagangan-Minuman Beralkohol (SIUP-MB) dan siapa pun yang melanggar larangan (verboten) ketentuan dalam usaha peredaran dan / atau penjualan minuman beralkohol dikenakan sanksi pidana maksimum 6 (enam) bulan atau denda maksimal Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (*)
Penulis: Rr. Herini Siti Aisyah, Heru Irianto, M Saleh, Tatiek Djatmiati and Minola Sebayang
Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:
Rr. Herini Siti Aisyah, Heru Irianto, M Saleh, Tatiek Djatmiati and Minola Sebayang (2019). The Policy and Supervision by Government of Circulation Alcoholic Beverages in East Java, Indonesia. Journal of Drug and Alcohol Research, Vol. 8 (2019), Article ID 236081, 07 pages; doi:10.4303/jdar/236081