UNAIR NEWS – Tim peneliti dari Fakultas Kesehatan Masyarakat UNAIR bersama SEAMEO-RECFON melakukan kajian potensi gizi pangan lokal yang kurang termanfaatkan. Tujuannya adalah untuk perbaikan gizi anak. Penelitian itu dilakukan di Bangkalan, Madura.
Dari penelitian itu, ada setidaknya 25 pangan yang diidentifikasi. Untuk kajian potensi bagi anak, peneliti hanya memilih 9, antara lain sorgum (Sorghum bicolor), ganyong (Canna edulis), talas (colocasia esculenta), kentang hitam (Plectranthus rotundifolius), suweg (Amorphophallus paseoniifolius), kelor (Moringa oleifera), kawista (Limonia acidisima), mangga gedong (Mangifera indica) dan bligo (Benincasa hispida).
Annis Catur Adi salah satu anggota tim peneliti mengatakan bahwa kajian potensi gizi difokuskan pada 6 zat gizi mikro yang masih sering menjadi masalah pada anak-anak. Antara lain seng, zat besi, kalsium, niasin, folat dan vitamin A. Dalam penelitian itu, protein dan fitat juga turut dikaji. Mengingat, protein merupakan zat gizi utama terkait pertumbuhan anak. Selain itu, fitat merupakan zat non gizi yang berperan dalam menghambat penyerapan zat gizi di tubuh.
“Hasil kajian itu menunjukkan, semua pangan tersebut kaya akan sedikitnya 3 zat gizi mikro penting yang pemenuhannya masih sering menjadi kendala bagi anak di negara sedang berkembang. Dari segi kandungan protein, secara kuantitas, 4 di antara pangan tersebut memiliki kandungan protein yang rendah, sedangkan 5 lainnya cukup padat protein, dan memiliki komposisi asam amino yang baik,” ujar Annis.
Kelemahan protein dari sumber nabati, lanjut Annis, adalah daya cernanya yang lebih rendah dibanding sumber hewani. Daya cerna protein nabati oleh tubuh umumnya sekitar 70-80 persen, sementara protein hewani, misalnya dari telur dan susu, memiliki daya cerna masing-masing 95 persen dan 97 persen.
Karena itu, Annis menyarankan, untuk memperoleh manfaat gizi optimal dari pangan tersebut, supaya dikombinasikan dengan pangan lokal sumber protein lainnya yang cukup murah. Baik dari nabati, misalnya kacang-kacangan, tempe, tahu, dan sebagainya. Maupun dari hewani, seperti telur atau ikan.
Lewat penelitian itu, Annis adn tim menyarankan agar untuk perbaikan gizi anak sebaiknya juga dihitung dan diperhatikan molar rasio antara mineral (zat besi, seng, calcium) dengan fitat. Sebab, pada rasio yang kurang pas, fitat dapat menghambat penyerapan mineral-mineral tersebut oleh tubuh. Dalam penelitiannya itu, hanya talas (buah dan daunnya) dan bligo yang memenuhi molar rasio fitat dengan mineral.
“Upaya menurunkan fitat dapat dilakukan pada tahap pra pengolahan pangan. Misalnya penumbukan, pengecambahan, fermentasi, merendam kemudian membuang airnya, maupun dengan cara modifikasi menu misalnya mengkombinasikan dengan pangan yang dapat membantu penyerapan mineral, seperti vitamin C dan pangan hewani,” ujar Annis.
“Menariknya, sebagian besar dari 9 pangan yang dikaji di penelitian ini, juga kaya akan vitamin C,” lanjutnya.
Penelitian itu dilakukan Annis dan tim mengingat Indonesia masih memiliki PR dalam menurunkan angka stunting. Di beberapa wilayah, prevalensi Stunting mencapai hingga lebih dari 40 persen, termasuk di Kabupaten Bangkalan, Madura.
Karakteristik wilayah Madura yang kering, apalagi dibarengi dengan kemiskinan yang cukup tinggi di beberapa wilayah, menempatkannya sebagai daerah yang berisiko mengalami rawan pangan dan gizi. Namun, di balik kekurangan ini, sebenarnya banyak potensi pangan lokal yang kurang optimal pemanfaatannya untuk memenuhi gizi anak. (*)
Penulis: Binti Q. Masruroh
Editor: Khefti Al Mawalia
http://apjcn.nhri.org.tw/server/APJCN/28/4/0107.pdf
Andrias DR, Fahmida U, Adi AC. Nutritional potential of underutilized food crops to improve diet quality of young children in food insecure prone area of Madura Island, Indonesia. Asia Pacific Journal of Clinical Nutrition 2019;28(4)