UNAIR NEWS – “Sillent killer” tampaknya merupakan sebutan yang tepat untuk penyakit hipertensi. Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan penyakit yang menyebabkan serangan jantung dan meningkatkan resiko kematian tanpa adanya gejala yang dimunculkan.
Penderita hipertensi umumnya memiliki tekanan darah pada nilai 140/90 mmHg atau lebih dimana kondisi ini akan menjadi berbahaya karena akan menyebabkan munculnya penyakit seperti stroke, gagal ginjal dan gagal jantung.
“Sehingga untuk mengatasi permasalahan tersebut dibutuhkan suatu terapi obat yang dapat menekan laju tekanan darah tersebut,” ujar Dwi Yuli Pujiastuti, S.Pi., MP Dosen Fakultas Perikanan dan Kelautan UNAIR.
Renin angiotensin aldosterone system (RAAS), memberikan peranan penting dalam pengaturan tekanan darah dan menjaga keseimbangan cairan sehingga dapat dijadikan target terapi untuk menanggulangi permasalahan hipertensi.
“Di dalam RAAS, angiotensin-I converting enzyme (ACE) akan mengkatalisis angiotensin I (Asp-Arg-Val-Tyr-Ile-His-Pro-Phe-His-Leu) menjadi angiotensin-II (Asp-Arg-Val-Tyr-Ile-His-Pro-Phe), dari decapeptide ke octapeptide,” terang Pujiastuti.
“Angiotensin-II inilah yang berkontribusi untuk merangsang pelepasan aldosteron dan hormon antidiuretik atau vasopresin dan meningkatkan retensi natrium dan air serta vasokonstriktor yang secara langsung akan meningkatkan tekanan darah. Sehingga kerja dari ACE ini harus dihambat kerjanya oleh suatu senyawa inhibitor,” tambahnya
Beberapa ACE inhibitor sintetik telah banyak ditemui seperti captopril, Lisinopril, enalapril, benazepril yang penggunaannya memiliki efek samping seperti pusing, batuk, ataupun ruam di kulit.
Menurut Puji, Bioaktif peptida diproduksi melalui hidrolisis enzimatik yang biasanya menggunakan enzim pencernaan seperti thermolysin, chymotrypsin dan pepsin. Dalam sistem pencernaan, biokatif peptida dapat dengan mudah diserap melalui usus dan masuk ke dalam darah dan memberikan efek bagi kesehatan.
“Oleh karena itu, saat ini bioaktif peptida menjadi perhatian penting bagi para peneliti untuk terus menggali potensinya terlebih sebagai sumber dari ACE inhibitor,” paparnya.
Pencarian peptida yang mampu menghambat aktivitas ACE, telah diintensifkan terlebih dahulu dari sumber-sumber perikanan dan kelautan telah bermunculan dibuktikan. Pengujian yang andal untuk menentukan kemampuan peptida menghambat aktivitas ACE menjadi perhatian utama.
Penentuan in vitro peptida penghambat ACE didahului oleh pencernaan enzimatik atau fermentasi mikroba yang kemudian diikuti oleh analisis struktur dan sintesis kimia peptida aktif. Teknik yang digunakan untuk mengevaluasi aktivitas penghambatan ACE dari peptida harus sederhana, sensitif, dan dapat diandalkan.
Puji memaparkan, Beberapa metode tersebut telah dikembangkan, seperti spektrofotometri, high performance liquid chromatography (HPLC), elektroforesis kapiler fluorometrik, dan radiokimia.
Metode ini, kata Puji, melibatkan hidrolisis hippuryl-histidyl-leucine (HHL) oleh ACE menjadi asam hippuric (HA). Jumlah HA yang dihasilkan dari HHL berkorelasi langsung dengan aktivitas ACE. Jumlah HA yang terbentuk ditentukan dengan mengukur absorbansi pada 228 nm (maksimum penyerapan HA). Meskipun spektrofotometri bermanfaat, namun memakan waktu, rumit, dan tidak dapat mendeteksi jumlah jejak sampel.
Organisme laut menghasilkan beberapa sumber bahan fungsional seperti peptida bioaktif, enzim, asam lemak tak jenuh ganda (PUFA), vitamin, mineral, fenolik phlorotannins, dan polisakarida. Selain itu, organisme laut menjanjikan prospek yang sangat baik untuk pengembangan industri seperti obat-obatan, kosmetik, bahan kimia, suplemen gizi dan agen terapi.
Penelitian Puji bersama tim menghasilkan fakta bahwa, Inhibitor alami dari perikanan dan kelautan diyakini tidak memiliki efek samping, lebih aman dan sehat jika dibandingkan dengan obat sintetik.
“Beberapa tahun terakhir, penelitian tentang potensi perikanan dan kelautan sebagai ACE inhibitor sudah banyak diteliti mulai dari soft shelled turtle, fermented mackerel, sardine muscle, Alaskan Pollack skin, marine shrimp, salmon chum, yellowfin, squid skin collagen, Spirulina platensis, dan Chlorella vulgaris,” jelasnya
Organisme laut merupakan sumber peptida penghambat ACE yang berkelanjutan untuk produksi obat-obatan dan nutraceutical pada skala industri. Karena pentingnya penghambatan ACE untuk industri farmasi dan nutraceutical masa depan, teknik pemurnian peptida untuk menghasilkan peptida murni yang diidentifikasi adalah menjadi sangat penting.
“Oleh karena itu, peningkatan penelitian tentang pemurnian peptida bioaktif harus terus memicu para peneliti untuk melakukan penelitian,” pungkasnya.
Penulis : Fariz Ilham Rosyidi
Editor: Khefti Al Mawalia
Referensi:
https://iopscience.iop.org/article/10.1088/1755-1315/236/1/012113/pdf
Pujiastuti, D.Y.; Shih, Y.-H.; Chen, W.-L.; Sukoso; Hsu, J.-L. 2017. Screening of angiotensin-I converting enzyme inhibitory peptides derived from soft-shelled turtle yolk using two orthogonal bioassay-guided fractionations. Journal of Functional Foods, 28, 36–47.