UNAIR NEWS – Fenomena perundungan yang terjadi di kalangan remaja Indonesia kerap menyorot perhatian banyak pihak. Tak terkecuali Ferry Efendi, S.Kep., Ns., M.Sc., Ph.D., yang merupakan dosen FKp Universitas Airlangga. Menurutnya, fenomena perundungan atau yang kerap dikenal dengan istilah bullying itu, merupakan salah satu bentuk kekerasan fisik dan emosional yang paling umum pada anak-anak dan remaja.
Tidak hanya itu, ia juga menegaskan bahwa perundungan di kalangan remaja adalah masalah global dan diketahui secara luas berdampak negatif pada para korban. Hal itu, tandasnya, mengacu pada penindasan atau perilaku agresif dengan niat untuk menyakiti atau menyalahgunakan orang lain dalam tindakan berulang dan melibatkan ketidakseimbangan kekuatan.
“Penindasan yang terjadi di lingkungan sekolah membutuhkan perhatian yang lebih besar karena sekolah adalah tempat bagi remaja untuk melakukan proses pembelajaran formal dan, oleh karena itu, mempengaruhi kualitas hidup untuk generasi mendatang,” ungkapnya.
Dosen yang akrab disapa Ferry itu juga menjelaskan, Indonesia adalah salah satu negara yang diduga masih mengalami angka kejadian perundungan cukup tinggi, seperti perilaku intimidasi di kalangan remaja, meskipun data akuratnya masih belum diketahui. Sebanyak 40% remaja, jelasnya, telah diintimidasi di sekolah dan 32% melaporkan bahwa mereka telah menjadi korban kekerasan fisik.
“Beberapa penelitian juga telah menyoroti faktor-faktor yang berhubungan dengan perundungan seperti faktor demografi, faktor sosial, faktor gaya hidup dan kondisi hidup dan kerja,” tandasnya.
Memahami faktor individu, lanjutnya, dapat membantu mengenali situasi nyata yang dihadapi oleh remaja yang diintimidasi. Oleh karena itu, Ferry dan tim melakukan penelitian untuk menyelidiki faktor-faktor yang terkait dengan korban bullying di kalangan remaja di Indonesia berdasarkan data sekunder dari GSHS 2015. Dari hasil risetnya, Ferry mengatakan bahwa penelitian yang dilakukan menunjukkan prevalensi tinggi korban perundungan sebesar 19,9% dilaporkan di kalangan remaja Indonesia di sekolah.
“Faktor usia, jenis kelamin, alkohol, merokok, dan kesepian menunjukkan hubungan positif dengan kejadian bullying,” tuturnya.
Pada akhir, ia menegaskan bahwa studi yang dilakukan memberikan data awal untuk menginformasikan pembuat kebijakan tentang prevalensi dan faktor yang berkorelasi dengan perundungan. Untuk itu, imbuh Ferry, diperlukan upaya peningkatkan kesadaran publik tentang tindakan intimidasi dan pencegahan di kalangan siswa, remaja lain, orang tua atau keluarga, serta masyarakat pada umumnya harus dipromosikan.
“Berfokus pada membangun lingkungan anti-intimidasi di sekolah mungkin berguna untuk mengurangi prevalensi intimidasi. Intervensi yang tepat perlu dilakukan oleh berbagai pemangku kepentingan untuk memastikan program anti-intimidasi diimplementasikan di semua sekolah,” pungkasnya.
Penulis: Nuri Hermawan
Editor: Khefti Al Mawalia
Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:
https://www.degruyter.com/view/j/ijamh.ahead-of-print/ijamh-2019-0064/ijamh-2019-0064.xml
Ah Yusuf, Aziz Nashiruddin Habibie, Ferry Efendi, Iqlima Dwi Kurnia, Anna Kurniati. 2019 ‘Prevalence and correlates of being bullied among adolescents in Indonesia: results from the 2015 Global School-based Student Health Survey’, International Journal of Adolescent Medicine and Health. De Gruyter.doi: 10.1515/ijamh-2019-0064