Resistensi Antibiotik Cefixime terhadap Bakteri Penyebab Gonore

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

Gonore atau yang disebut juga dengan kencing nanah masih menjadi masalah kesehatan di bidang infeksi seksual menular (IMS) yang sering ditemui pada negara berkembang dan merupakan IMS terbanyak kedua di dunia. Kejadian gonore meningkat setiap tahunnya.

World Health Organization (WHO) memperkirakan terdapat 62 juta kasus baru setiap tahunnya. Kejadian gonore di Surabaya pada 2016 didapatkan sebanyak 289 pasien, sedangkan angka kejadian gonore di RSUD Dr. Soetomo pada 2002–2006 sebanyak 321 pasien, 2013 sebanyak 3 pasien, 2014 sebanyak 8 pasien, 2015 sebanyak 20 pasien, dan 2016 sebanyak 37 pasien.

Gonore merupakan IMS yang disebabkan bakteri Neisseria gonorrhoeae yang memerlukan terapi antibiotik, namun didapatkan angka resistensi antibiotik yang meningkat pada bakteri penyebab gonore. Resistensi terhadap penicilin, tetrasiklin, dan golongan kuinolon meningkat sehingga tidak direkomendasikan untuk menjadi terapi gonore di beberapa negara.

The Centers for Disease Control and Prevention (CDC) and WHO merekomendasikan golongan cephalosporin, yaitu cefixime 400 mg oral atau ceftriaxone 125 mg intramuskular untuk terapi gonore. Sedangkan pada 2012, CDC merekomendasikan penggunaan dual therapy, yaitu cefixime 400 mg oral atau ceftriaxone 125 mg intramuskular ditambahkan Azitromycin atau Doxyxicline. Penelitian di Australia, Austria, dan Inggris, melaporkan, terdapat penurunan sensitivitas terhadap cefixime pada kasus gonore. Penurunan sensitivitas ini diketahui dengan penurunan minimal inhibitory concentration (MIC) dari cefixime di beberapa kasus gonore di Eropa.

Metode untuk tes mengukur sensitivitas dapat dilakukan dengan beberapa teknik, metode yang paling sering digunakan, yaitu berdasar Clinical Laboratory Standard Institute (CLSI) dengan teknik difusi dan dilusi disk atau cakram. Metode lainnya berdasar National Committee for Clinical Labroratory Standards (NCLLS), yaitu dengan menggunakan teknik Etest, yakni diilusi strip antibiotik untuk mengetahui MIC. Teknik difusi cakram oleh CLSI dinilai lebih efisien untuk negara dengan keterbatasan fasilitas selain itu dinilai lebih murah dan mudah diaplikasikan.

Tes sensitivitas antibiotik Cefixim pada N. gonorrhoeae sudah pernah dilakukan di Puskesmas Putat Jaya Surabaya, dalam waktu 3 bulan didapatkan 12 bakteri N. gonorrhoeae yang terisolasi pada 68 sekret serviks pekerja seks komersial (PSK). Hasilnya, menunjukkan 3 dari 12 (25%) resisten terhadap antibiotik cefixim. Penelitian di India tahun 2007-2012 mengenai profil sensitivitas dan resistensi antimikrob menunjukkan adanya penurunan sensitivitas terhadap ceftriaxone pada 2008, tahun 2010 ditemukan 11 isolat resisten terhadap ceftriaxon, dan mengalami penurunan terhadap cefixime dan dan cefpodoxime. Tingginya angka resistensi antibiotik terhadap bakteri penyebab gonore dapat menyebabkan turunnya angka kesembuhan serta memiliki potensi menularkan resistensi antibiotik kepada orang lain. Penelitian dan monitoring resistensi antibiotik Neisseria gonorrhoeae penting dilakukan agar menghindari pemakaian antibiotik yang tidak efektif dalam terapi penyakit gonore pada masyarakat.

Penelitian ini menguji 20 sampel isolat Neisseria gonorrhoeae yang diambil dari pasien dengan keluhan duh tubuh purulen yang datang ke tujuh pusat kesehatan masyarakat (Puskesma) di Surabaya. Desain penelitian ini adalah penelitian deskriptif observasional laboratorium belah-lintang, periode Juni 2017–September 2017. Kriteria inklusi adalah isolat dari pasien yang telah didiagnosis Gonore melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan gram, dan pemeriksaan kultur menggunakan media Thayer Martin yang telah mengandung vankomisin untuk menekan pertumbuhan bakteri gram positif, kolimestat untuk menekan pertumbuhan bakteri gram negatif, nystatin untuk menekan pertumbuhan jamur, trimethoprim untuk menekan pertumbuhan Proteus spp, dan diinkubasi pada suhu 37°C selama maksimal 48 jam. Koloni N. gonorrhoeae tumbuh berwarna putih keabuan, mengkilat, dan konveks. Setelahnya koloni diuji biokimia oksidase, katalase, dan fermentasi. Isolat tersebut kemudian diuji sensitivitasnya terhadap antibiotik cefixime menggunakan metode difusi cakram. Isolat dianggap sensitif terhadap cefixime apabila area inhibisi melebihi 31 mm berdasarkan kriteria Clinical Laboratory Standard Institute (CLSI).  

Hasil penelitian ini menemukan 7 dari 20 sampel isolat Neisseria gonorrhoeae (35%) tidak sensitif terhadap antibiotik cefixime (3 mempunyai area inhibisi 6 mm, 1 mempunyai area inhibisi 25 mm, 1 mempunyai area inhibisi 26 mm, 1 mempunyai area inhibisi 29 mm, 1 mempunyai area inhibisi 30 mm). Penelitian ini membuktikan adanya resistensi bakteri penyebab Gonore terhadap antibiotik cefixime melalui metode difusi, selanjutnya dapat dilakukan studi lebih lanjut seperti menggunakan metode dilusi untuk mengevaluasi peningkatan resistensi N. gonorrhoeae terhadap antibiotik.

Penulis: Dr. Afif Nurul Hidayati dr.,Sp.KK, FINS-DV, FAADV

Informasi lebih lengkap dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:

https://www.pagepress.org/journals/index.php/dr/article/view/8060

Rositawati, A., Sawitri, S., & Hidayati, A.N., (2019). Neisseria gonorrhoeae resistance test against cefixime in gonorrhea patients in Surabaya. Dermatology Reports11(1s). https://doi.org/10.4081/dr.2019.8060

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).