Awal oktober lalu, ada sebuah produk perundangan (lebih tepatnya, peraturan presiden) yang cukup menarik perhatian dengan narasi, “Semua Merek dan Gedung, Wajib Pakai Bahasa Indonesia.” Peraturan itu adalah perpres nomor 63 tahun 2019 tentang bahasa Indonesia. Sesuai dengan namanya Peraturan Presiden nomor 63 tahun 2019 tentang Bahasa Indonesia ini, mengatur beberapa hal esensial dalam penggunaan bahasa Indonesia dalam kegiatan formal dan non-formal sehari-hari. Perpres ini merupakan peraturan lanjutan yang lebih rinci dari perpres sebelumnya yaitu perpres nomor 16 tahun 2010 yang hanya mengatur tentang penggunaan bahasa Indonesia dalam pidato resmi presiden dan wakil presiden serta pejabat negara.
Penegasan Berbahasa Indonesia di Luar Negeri
Pada perpres nomor 16 tahun 2010, diatur mengenai pidato resmi presiden/wakil presiden dan pejabat negara di luar negeri, yang harus menggunakan bahasa Indonesia. Pada perpres ini, aturan tersebut masih dipertahankan. Misalnya, pada pasal 5 perpres 63 tahun 2019 ini yang berbunyi “Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara yang lain yang disampaikan di dalam atau di luar negeri.” Sedangkan, pasal 6 mengatur siapa saja yang diwajibkan menggunakan bahasa Indonesia dalam pidato resmi ini. dari mulai presiden, wakil presiden, sampai walikota dan pejabat negara lainnya. Sedangkan, ketentuan pidato resmi yang dimaksud adalah apabila pidato ini adalah pidato pada kegiatan yang diadakan oleh PBB, organisasi internasional, dan negara lain.
Pasal 10 ayat 3, diatur pula bahwa pidato balasan pejabat negara di luar negeri harus menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini kembali menegaskan kepada publik bahwa adalah tidak benar apabila perwakilan negara Indonesia, menggunakan bahasa asing tanpa tujuan tertentu di pidato-pidato resmi, termasuk pidato balasan kenegaraan. Kedua hal ini semakin menegaskan bahwa saat ini bahasa Indonesia wajib digunakan pada forum-forum resmi tersebut. Seakan akan menjelaskan bahwa bahasa adalah bentuk kedaulatan yang harus dijunjung tinggi dimanapun berada. Hal ini sekaligus menjawab pertanyaan masyarakat yang menanyakan keharusan berpidato menggunakan bahasa internasional.
Faktanya, bukan hal yang aneh ketika pemimpin-pemimpin dunia menggunakan bahasa negaranya ketika berpidato resmi. Sebut saja Rusia, Tiongkok, sampai Perancis yang menggunakan bahasa sesuai negaranya masing-masing saat berpidato. Terlepas dari bahasa- bahasa negara tersebut adalah bahasa internasional pada forum PBB.
Penegasan Berbahasa Indonesia di Dalam Negeri, dari Sekolah sampai Gedung
Selain beberapa poin mengenai penggunaan bahasa pada pidato resmi di kancah internasional, ada aturan lain mengenai penggunaan bahasa Indonesia yang saya anggap juga sebagai hal esensial di perpres ini. yang pertama adalah aturan penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa utama dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Namun, hal yang menarik adalah adanya “kelonggaran” bagi murid di sekolah dasar dan sederajat tingkat satu dan dua yang diperbolehkan melakukan kegiatan belajar menggunakan bahasa daerah setempat, untuk memudahkan pemahaman. Perhatian kecil seperti ini patut diapresiasi karena seperti yang kita tahu, di daerah-daerah tertentu, banyak anak yang lebih mengeri bahasa daerahnya dibanding bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Indonesia yang disesuaikan dengan kaidah, akan menyulitkan baik dari pihak guru maupun murid.
Lalu, poin selanjutnya adalah poin yang sering dinarasikan pada media: semua nama gedung dan merek diwajibkan menggunakan bahasa Indonesia. Pada pasal 32 ayat 1, diatur bahwa “Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nama geografi di Indonesia.” Nama geografi yang dimaksud, mulai dari nama jalan, sampai bangunan dan gedung. Namun, bukan mutlak semua nama geografi diharuskan menggunakan bahasa Indonesia. Pada ayat selanjutnya, dijelaskan bahwa nama geografi tersebut dapat dipertahankan bahasa asing dengan syarat memenuhi nilai sejarah, keagamaan, budaya dan adat-istiadat. Contohnya rumah ibadah seperti masjid, yang tidak perlu mem-bahasa Indonesia-kan namanya apabila menggunakan istilah-istilah arab. Namun, harus tetap menggunakan aksara latin, yang menjadi aksara yang kita gunakan sehari-hari di Indonesia.
Penerjemah yang Sering Disebut-sebut
Hal menarik lain yang ada dalam perpres ini adalah profesi penerjemah yang cukup sering disebut dalam perpres ini. terhitung tiga kali kata “penerjemah” ditulis dalam aturan ini. Misalnya, pada pasal 12 yang menjelaskan tentang pendampingan penerjemah dalam hal pidato presiden menggunakan bahasa Indonesia, sedangkan audiensi adalah warga asing. Menarik karena dalam hal ini, penerjemah dianggap sebagai bagian penting dalam pelaksanaan perpres nomor 63 tahun 2019. Apalagi, saat ini tren penggunaan penerjemah sudah bukan hanya dalam forum-forum formal, melainkan juga pada forum-forum non-formal. Penerjemah yang biasanya sudah lulus seleksi dan tersumpah, bukan tidak mungkin akan menjadi profesi yang cukup menjanjikan dengan adanya perpres ini.