UNAIR NEWS – Berdasarkan data dari Bank Indonesia (BI), sektor perbankan menguasai sekitar 79 persen dari total aset seluruh industri keuangan. Hal ini menyebabkan kegagalan sistem perbankan yang akan sangat berdampak pada perekonomian Indonesia.
Lalu, apakah indikator makropudensial terpenting dalam stabilitas sistem keuangan di Indonesia? Pertanyaan inilah yang kemudian melatarbelakangi Fatin Fadhilah Hasib S.E., M.Si. dan tim melakukan penelitian.
Fatin menuturkan bahwa Indonesia dalam melakukan pengukuran stabilitas sistem keuangan menggunakan dua indikator, yaitu mikroprudensial dan makroprudensial. Kebijakan makroprudensial dan mikroprudensial yang dikeluarkan oleh BI sangat berperan penting dalam menjaga Stabilitas Sistem Keuangan (SSK). Pada penelitian ini, peneliti berfokus pada indikator makroprudensial.
Adapun indikator makroprudensial yang digunakan diantaranya adalah pertumbuhan ekonomi, neraca pembayaran, tingkat inflasi, contagion effect (efek penularan krisis), suku bunga dan nilai tukar. Berdasarkan hal tersebut, perlu dilihat manakah indikator makroprudensial terpenting (leading indicator) dalam pengukuran stabilitas sistem keuangan dari perspektif praktisi keuangan dan perbankan.
“Setelah itu, pemerintah diharapkan mampu mengetahui apa sesungguhnya indikator utama stabilitas keuangan dari realitas yang dihadapi serta mendapatkan rekomendasi yang tepat untuk ditawarkan dalam kerangka stabilitas sistem keuangan,” ungkapnya.
Penelitian ini menggunakan metode wawancara dengan pakar atau praktisi perbankan yang dianalisis menggunakan Analytic Network Process (ANP). Dari hasil wawancara, ditemukan tiga indikator terpenting stabilitas sistem keuangan dalam aspek makroprudensial. Yaitu utang, neraca pembayaran, dan makroekonomi.
Indikator yang pertama adalah utang, dalam hal ini utang lancar (utang yang diharapkan perusahaan akan dibayar dalam jangka waktu satu tahun). Utang lancar memiliki hubungan yang kuat terhadap pemeliharaan stabilitas sistem keuangan di Indonesia.
“Keputusan pengambilan utang dan strategi pelunasannya harus diatur sedemikian rupa agar tidak menggangu stabilitas sistem keuangan di Indonesia,” imbuhnya.
Indikator kedua adalah neraca pembayaran. Cadangan devisa memiliki dua fungsi, yaitu untuk membiayai ketidakseimbangan neraca pembayaran dan untuk menjaga stabilitas ekonomi. Fungsi pertama adalah untuk menjaga kestabilan moneter yaitu untuk mempertahankan nilai tukar mata uang.
“Dalam kaitannya dengan neraca pembayaran, cadangan devisa biasanya digunakan untuk membiayai impor dan kewajiban luar negeri,” tambahnya.
Kecukupan cadangan devisa ditentukan oleh besarnya kebutuhan impor dan sistem nilai tukar yang digunakan. Oleh karena itu, keseimbangan aktivitas ekspor dan impor di Indonesia secara tidak langsung memengaruhi stabilitas ekonomi dan sistem keuangan Indonesia.
Indikator ketiga adalah makroekonomi. Makroekonomi mencerminkan kondisi ekonomi secara keseluruhan dalam skala makro. Kondisi ekonomi secara makro secara tidak langsung berpengaruh pada stabilitas sistem keuangan dan sebaliknya.
Lebih lanjut, Fatin mengungkapkan bahwa penelitian ini akan berdampak baik pada pemerintah. Bank Indonesia, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan Otoritas Jasa Keuangan sebagai pengambil kebijakan terkait indikator makroprudensial, dapat menjaga stabilitas sistem keuangan.
“Dengan mengetahui mana indikator atau faktor makroprudensial prioritas yang mempengaruhi stabilitas keuangan Indonesia, diharapkan para pengambil kebijakan mampu menjaga inflasi yang mampu memberikan stabilitas perekonomian,” tutupnya. (*)
Penulis : Sandi Prabowo
Editor : Khefti Al Mawalia
Referensi : https://jurnalekonomi.lipi.go.id/JEP/article/view/254
Aam Slamet Rusydiana, Lina Nugraha Rani, Fatin Fadilah Hasib. 2019. Manakah Indikator Terpenting Stabilitas Sistem Keuangan? : Perspektif Makroprudensial