UNAIR NEWS – Perkawinan merupakan budaya yang telah dilakukan oleh banyak manusia selama turun-temurun. Di mana mereka melanjutkan hubungannya ke tahap resmi di mata negara dan/atau agama. Namun yang menjadi pertanyaan adalah mengapa perkawinan yang dilakukan oleh sebuah pasangan beda agama masih sangat sulit dilakukan di Indonesia.
Zendy Wulan Ayu Widhi Prameswari, S.H., LL.M., selaku dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga mengatakan bahwa masalah utama dari kesulitan itu bersumber pada Pasal 2 Ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang berbunyi “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
“Bila kita mengkaji pasal tersebut, perkawinan yang sah harus sesuai dengan hukum agama-agama yang diikuti oleh pasangan tersebut, dan bila saya mengandalkan pengetahuan umum saya tentang hukum agama yang mengatur tentang hal itu, perkawinan beda agama itu tidak dibolehkan,” ujar lulusan European University Viadrina Frankfurt itu.
Zendy menambahkan, meskipun perkawinan merupakan hak asasi yang sudah dijamin oleh konstitusi di Indonesia. Ia merasa bahwa UU perkawinan ini kurang memperhatikan fakta lapangan bahwa fenomena perkawinan beda agama di Indonesia ini tidak sedikit.
“Saya merasa bahwa UU Perkawinan ini diam mengenai fenomena ini padahal UU Perkawinan telah mengalami beberapa revisi, seperti tentang batas usia menikah. Padahal perkawinan itu merupakan hak setiap manusia yang harus dijamin, tapi sejauh mana hak itu bisa diimplementasikan. Itu yang terus menimbulkan pro kontra,” tambahnya,
Penulis : Pradnya Wicaksana
Editor : Khefti Al Mawalia